1. Pengertian Siwaratri.
Istilah yang lengkap mengenai Siwaratri adalah Siwaratrikalpayang berarti Brata Siwaratri. Untuk memperoleh gambaran pengertian Siwaratrikalpa, baiklah saya akan kutipkan perkataan Maha Rsi
Wasistha kepada raja Dilipa dalam lontar
Padmabhuana sebagai berikut :
Srnu rajan prayakayami sivaratrivratah
tava vratanam uttaman sukene
chivalokaikasadhanam,
Maghaphalgunayer madhye kranapakno
caturdasi sivaratri vijnayo narvapapapaharini.
Krtopavana toyam siwam arsanti jageatah
bilvapatrtis caturyaman teyanti sivarulyatam.
Na tapobhir na danais cca na va
japyasamadhibhih prapyate tatphalam rajan
nopavasamakhadibhih.
Guhyad guhyatarah loka vratam otas
chivapriyam tvayapi khalu narvatra na prakasyam idam vratam.
Bhudaranam yathasmarus tojasam bhaskaro
yatha dvipadam ca yatha viprah kapilova caruspadam.
Japyanam iva gayatri rasanam amratam yatha
purusanam yatha visruh strinam yadvad arundhati.
Sivaratrivratad rajan vratanam uttamam
tatha sivaratir mahavahnir bhavanicasamanvita.
Dahaty svarito yogao chuskardam
kalmasedhanam otat yo kathitam rajan
sivaratrivratam mahat evam eva pura dovyai
mahadevana bhasitam.
Artinya :
Tuhanku, dengarkan, dan saya akan
menerangkan kepada Tuanku tentang brata malam Siwa, yang jelas merupakan brata yang paling
istimewa, yaitu jalan untuk mencapai sorganya
Siwa.
Malam ke 14 yang gelap pada pertengahan
bulan Magha (sasih kepitu) atau phalguna (sasih Kaulu) haruslah dikenal sebagai malam Siwa yang
membebaskan semua dosa.
Mereka yang berpuasa dan tetap tidak
tidur, berbhakti kepada Dewa Siwa dengan daun bila selama malam itu mendapatkan identitas dengan Dewa Siwa.
Bahwa imbalannya tidak diperoleh dengan
kekerasan, tidak juga dengan hadiah-hadiah, semadhi, doa, puasa dan lain-lain, Brata ini adalah sangat rahasia di dunia ini, dan tentu
saja tidak boleh dibuka di mana-mana walaupun oleh Tuhanku sendiri. Brata malam Siwa merupakan brata yang paling istimewa, ibarat Merunya pegunungan, matahari dari apa saja yang bersinar,
guru dari mahluk-mahluk yang berkaki empat, gayatrinya doa, amertanya cairan, Wisnunya orang laki, Arundhatinya orang wanita.
Malam Siwa yang
diasosiasikan dengan Dewa Bhavani, begitu terjadi kontak, membakar bahan bakarnya
dosa, baik basah maupun kering. Brata agung malam Siwa ini, telah diuraikan kepada Tuhanku seperti telah
diceriterakan kepada Dewi sebelumnya oleh Mahadewa.
2. Tata Cara Melaksanakan Siwaratri
Tata cara melaksanakan Brata
Siwaratrikalpa, disebutkan dalam pustaka “Siwaratribrata”. Koleksi
Ida Pedanda Gede Pemaron di Munggu. Di dalam pustaka ini diberikan petunjuk
terutama bagi sulinggih dalam melakukan Siwaratrikalpa, lengkap dengan
puja mantranya, pendahuan (menggala) pustaka ini berbunyi:
“ Rihankrama Siwaratri brata uttama,
tindakira sang pandhita siwa mwang budha, sang meharep lepas saking atma
sengsara, siddhaning yasa, tapa, brata, dhyana, yoga, semadi mwang kritinya………”
artinya:
“Inilah tatacara melaksanakan Brata
Siwaratri utama,
yang diharapkan terlepasnya atma dari sengsara, berhasilnya yasa,
tapa, brata, yoga, semadhi serta kirtinya………”
Hooykaas dalam bukunya “Agama Tirtha”
mencantumkan transkrip naskah upacara Siwaratri, terutama mengenai
upacaranya. Menggala dari
naskah itu menyebutkan :
“Iti kalingan Brata Siwaratri, caru ring
sanggar tawang, 4 dandanan tekang catur, banten gana, banten sumur, banten
pelinggihan (saha) dandanan swang………”
Artinya :
Inilah keterangan mengenai Brata
Siwaratri, caru di (sor) sanggar tawang, dandanan 4
lengkap dengan catur banten gana, banten sumur, banten pelinggihan (daksina
pelinggih) disertai dandanan masing-masing……..
Saya berusaha mensinkrunkan isi kedua
naskah itu dan mencoba mengambil isinya, karena betapa sulitnya menyusun suatu
tata cara pelaksanaannya yang didasarkan atas petunjuk yang kurang lengkap dan
tradisi yang berpariasi. Atas dasar kedua naskah itu maka pelaksanaan
upacara-upacara Siwaratri dapat
dibedakan menjadi dua yaitu: Sadhaka dan walaka. Dalam hubungan ini ada 3 hal yang perlu diperhatikan yaitu: Upakaranya,
Bratanya, danTatacaranya. Inipun masih dibedakan lagi menurut
tingkata:Uttama, Madhya dan Nistha.
A. Upacara Ciwaratri untuk Sadhaka.
UPACARA
a. Uttama: Mendirikan sanggar
tawang berisi banten
catur wedhya, daksina
sarwapat 1, suci wedhya 3, dandanan, peras, ajuman, sodan, salaran, kelanan,
sorohan, karangan itik, pangkonan dan rayunan
prangkat, ulam itik. Di
hadapanmepuja: banten gebogan, bubuh mesaji, sogo liwet, bubur putih, bubur
bang, bubur wilis misi tatakhijo (kacang ijo), sesayut pancalingga, pras gede,
tumpeng, pengambian, prayascita luwih, penyeneng, pedudusan agung,
pengerosikan, lingga diisi rerajahan padmanglayang dan kain
sutra kuning diisi rerajahan
padmasana. Selain itu dibuatkan lingga emas diisi dengan kain sutra kuning
sebagai Ciwapratistha. Ayaban saha bebangkit dan sesayut
durmanggala.
Bunga berwarna-warni yaitu: menuh, kemiri,
gambir, kecubung, weduri putih, pudak, angsoka, sari tangguli, tanjung, kalak,
cempaka, tunjung biru, tunjung bang, tunjung putih, sulasih, merak, daun bila
108 lembar, wangi-wangian dan padang lepas. Di pelinggih kamimitan berisi banten
pejatiselengkapnya asoroh. Di bawah: banten
caru ayam brumbun biakala, gelarsanga, segehan agung.
b. Madhya : Banten seperti pada tingkat uttama, tetapi di
sanggah surya memakai banten
ardhanareswari tidak
memakai catur,
daksina, sorohan
suci alit, peras, sodan, kelanan. Dihadapanmepuja: banten ayaban
mejerimpen tanpa bebangkit,
padudusan alit, bubur putih, bubur wilis berisi tatak hijo, mesayut
pancalingga, tumpeng, pengambian, prayascita, penyeneng, pangaresikan.
Lingga mas diganti
dengan lingga
perak dan
dihiasi dengan pucuk
daun bila
108 lembar
seperti pada tingkan uttama.Di kamimitan berisi banten
pejati asoroh. Di bawah (natar), banten caru ayam brumbun, biakala,
segehan agung.
c. Nistha : Di sanggar surya banten pejati
asoroh. Dihadapanmepuja benten prayascita, penyeneng, pangeresikan,
sesayut panca lingga, ayaban, sakabuatan. Di halaman (natar) banten
segehan agung, banten kamimitan, pejati asoroh, lingga dibuat
dari bunga widuri putih dihiasi pucuk daun pisang kayu, bunga bercarbang dan
daun bila 108 lembar seperti di atas.
BRATA
a. Uttama, Melakukan brata yaitu: Monobrata (tidak
berbicara dan duduk beryoga)
setelah melakukan persembahyangan dan mepuja Argha serta Pasanglingga yang
didahului dengan Suryasewana dan Pujaparikrama, Upawasa (tidak
makan, tidak minum), Jagra (tidak
tidur).
Ini dilakukan 36 jam yaitu mulai matahari
terbit hari panglong
14 sasih kepitu sampai
matahari terbenam hari tilem sasih kepitu. Di samping itu upakaranya
lengkap seperti di atas.
b. Madhya, Upakara seperti tersebut di atas dan bersembahyang
dan mepuja Argha dan Pasanglingga.
Bisa tanpa Monobrata,
tetapi melakukan Upawasa dan
melakukan jara. Untuk
menghilangkan ngantuk, bisa dihibur dengan membaca pustaka yang memuat sastra
agama, Itihasa atau Wiracarita. Inipun harus dilakukan 36 jam seperti tersebut
di tingkau uttama.
c. Nistha, Brata
yang dilakkan bisa
dikurangi dar yang semestinya, bisa tanpa melakukan Monobrata,
melainkan hanya bersembayang dan mepuja parikrama seperti
biasa, tanpa melakukan Upawasa, tetapi harus melakukan jagra selama
36 jam seperti tersebut tadi untuk menghilangkan ngantuk, dibacalah kitab
pustaka sastra agama, Itihasa atau Wiracarita. Bisa juga berjalan-jalan kesana-kemari
ketempat-tempat suci.
Tata Cara
Bagi Sadhaka yang Nabenya masih ada, terlebih dahulu melakukan padacemani kepada Nabenya. Ini dilakukan pada siang hari pada panglong sasih kepitu. Setelah itu pada sore harinya bersembahyang di Kamimitan yang maksudnya mempermaklumkan kepada leluhur yang
telah suci bahwa yang bersangkutan melaksanakan brata Siwaratri dan memohon agar leluhurnya memberikan tuntunan
batin untuk mencapai tujuan.
Pada waktu mulai memasuki malam hari,
pemujaan dilakukan dengan puja Argha dan Pasanglingga didahului dengan Suryasewana dan Pujaparikrama. Pemujaan yang demikian itu dalakukan
tiga kali yaitu: mulai memasuki hari malam, pada tengah malam, dan menjelang
pagi besoknya.
Persembahyangan dipusatkan pada Dewa Ciwamahadewa sebagai manifestasi Hyang Widhi yang paling sempurna yang diproyeksikan atau dipratistanakan kedalamlingga yang dibuat itu. Sarana yang dipakai dalam
menyembah Siwalingga adalah semining
maha ( kedapan daun bila ) dan bunga
kuning. Maksud persembahyangan itu adalah
memohon kehadapan Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya Siwamahadewa untuk melebur dosa dan papa neraka Siajamana (yang malakukan brata Siwaratri itu). Di dalam sembahyang itu pikiran dan bathin
dipusatkan sepertidalam keadaan yoga
semadhi, sehingga muncul
suatu getaran-getaran suci pertanda kontaknya dengan Dewa
Siwamahadewa. Selain
persembahyangan pokok ditujukan kepada Dewa
Siwamahadewa, juga
sembahyang kepadaDewa Samodaya seperti Suryaradhitya, Brahma,
Wisnu, Iswara, Gana dan Gangga. Ini adalah sembahyang kepadaDewa Samodaya ketika sembahynag mulai memasuki malam hari. Untuk
sembahyang tengah malam, maka Dewa
Samodaya yang disembah adalah: Suryaradhitya, Brahma, Wisnu, Iswara dan Giriputri. Untuk sembahyang pagi-pagi buta besok
paginya Dewa Samodaya disembah adalahSuryaradhitya, Brahma, Wisnu,
Iswara dan Kumara.
Selesai sembahyang dilanjutkan dengan matirtha kakuluh yang dimohon kehadapan Dewa Siwamahadewa.Sesudah selesai sembahyang fase pertama dan juga
setelahnunas tirtha kakuluh, lalu daun bila itu tadi diambil dan dijatuhkan
kedalam sangku berisi air, dan cara menjatuhkannya adalah
satu-persatu sampai habis 108 lembar disertai dengan padang lepas (dukut droman) dan bunga-bunga yang
berwarna warni.
Besok paginya setelah selesai sembahyang
danmatirtha kakuluh lalu nyurud dan yang boleh dimakan adalahkorok nasi wilet yang disajikan itu hanya diisi garam dan boleh
minum air putih sampai nanti hari telah malam kembali (ini bagi yang melakukan
brata Upawasa) barulah selesai brata Siwaratri itu. Ini adalah
tatacara seluruh tingkatan upacara Siwaratri. Yang berbeda adalah jenis
upakaranya yang dipakai dan brata yang dijalaninya.
B. Upacara Siwaratri untuk Walaka
UPAKARA
a. Utama. Banten di Sanggar Surya adalah: catur,
dandanan, banten gana, daksina, sarwa pat, suci, peras kelanan, danbanten
sumur. Banten dihadapan sembahyang adalah:banten pelinggih (daksina
tapakan), dandanan,
bubur putih, bubur barak, bubur wilis winoran kotak hijo, pulogan, bali,
sesayut, pengambian, peras, prayascita, lis, pengeresikan.Selain itu
dibuat lingga berisi prerahi
emas diletakkan
di atas daun pisang emas berisi rerajahan padmasana ring sor danrerajahan
padma nglayang ring luhur, berisi daun cemara, daun suala, daun
kalovi, daun
bila 108 lembar, bunga-bungaan yaitu: widuri putih, putat, angsoka, sari
tangguli, tunjung, cempaka, tunjung biru, tunjung bang, tunjung putih, sulasih
merah, padang lepas dan wangi-wangian. Banten di Kamimitan adalah pejati
asoroh, banten ring sor adalah caru
ayam brumbun, biakala dan gelar sanga.
b. Madhya Banten di Sanggar Surya adalah: daksina
sarwapat, dewa-dewi, peras suci, kelanan. Banten dihadapan sembahyang adalah : sesayut, pengambian, prayascita, pengeresikan dan tumpeng ayaban, saka bwatan. Dibuatkanlingga dengan prerahi
kayu cendana beralaskan
daun pisang kayu, bunga-bungaan seperti tersebut tadi, padang lepas, daun bila
108 lembar dan wangi-wangan. Banten di Kamimitan adalah pejati
asoroh. Banten ring sor adalah biakala dan segehan
agung.
c. Nistha Banten di Sanggah Surya adalah pejati
asoroh. Di
hadapan sembahyang, banten:
sesayut, pengambian, prayascita. Dibuatkan lingga dengan
bunga widuri putih dialasi daun pisang kayu, bunga-bungaan berwarna, padang
lepas, daun bila 108 lembar dan wangi-wangian. Banten diKamimitan adalah canang,
daksina. Banten ring
sor adalahsorohan
nasi cacahan.
BRATA
a. Uttama Upakaranya lengkap seperti tersebut di
atas tadi. Melakukan monebrata, upawasa,
jagra selama
36 jam, mulai dari matahari terbit pada hari panglong 14 sasih kepitusampai
matahari terbenam pada tilem sasih kepitu.
b. Madhya Upakaranya lengkap seperti tersebut
dieatas. Tidak melakukan monobrata, tetapi melakukan upawasa dan jagraselama
36 jam seperti di atas tadi. Untuk menghilangkan ngantuk, bisa dihibur dengan
mambaca sastra agama, Itihasa atau Wiracarita.
c. Nistha Upakaranya
boleh tidak lengkap atau dikurangi dari yang semestinya. Tidak melakukan monebrata danupawasa,
tetapi hanya melakukan jagra selama 36 jam seperti tersebut di atas.
Untuk menghilangkan ngantuk boleh berjalan-jalan ketempat-tempat suci atau membaca
sastra agama, Itihasa atapun Wiacarita.
Tatacara Pelaksanaannya
Terlebih dahulu pada pagi hari panglong
14 sasih kepitu, melakukan suci laksana atau pengeningan pikiran. Sore
harinya melakukan persembahyangan kepada Surya Radhitya maksudnya
mempermaklumkan dan mohon agar beliau menyaksikan pelaksanaan Brata
Siwaratri yang
dilakukan. Setelah itu bersembahyang di Kamimitanmaksudnya
mempermaklumkan dan memohon tuntunan bathin agar sukses dalam melakukan Brata
Siwaratri.
Setelah hari mulai malam, maka mulai
melakukan persembahyangan dipusatkan kepada Hyang Widhi dalam
manifestasinya sebagai Siwamahadewa yang dipratistanakankedalam lingga itu.
Selain itu juga persembahynag ditujukan kepada Dewa
Samodaya yaitu: Surya
Radhitya, Brahma, Wisnu, Iswara, Gana, dan Gangga.
Persembahyangan fase kedua yaitu tengah
malam, juga dipusatkan kepada Dewa Siwamahadewa serta
pula Dewa Samodaya yaitu : Surya Radhitya, Brahma, Wisnu,
Iswara, dan Giriputri.
Persembahyangan fase ketiga yaitu : pagi-pagi buta
besoknya juga dipusatkan kepada Dewa Siwamahadewa serta Dewa
Samodaya yaitu : Surya Radhitya, Brahma, Wisnu,
Iswara, dan Kumara.
Setiap selesai sembahyang diikuti dengan
metirtha pakuluh yang dimohonkan kepada Dewa Siwamahadewa.
Untuk persembayangan fase pertama setelah
selesai sembahyang serta telah matirtha kakuluh, lalu daun bila
tadi diambil dan dijatuhkan kedalam sangku berisi
air dan cara menjatuhkannya itu adalah satu persatu sampai habis 108 lembar
disertai pula padang dreman (padang lepas) dan bunga-bungan yang beraneka
warna.
Besok paginya setelah selesai sembahyang
dan matirtha
kakuluh, dilanjutkan
dengan nyurud (yadnya
sesa) dan yang boleh dimakan hanyalah kerak nasi wilet yang
disajikan. itu
hanya berisis garam dan boleh minum air putih, sampai hari telah malam kembali
(ini bagi yang melakukan upawasa). Dengan demikian selesailah sudah tatacara pelaksanaan Siwaratri itu. Ini
berlaku untuk semua tingkatan upacara Siwaratri, yang
berbeda adalah jenis upakara yang dipakai dan brata yang dijalani.
Mengenai tatacara dan sarana yang dipakai
dalam melaksanakan Brata
Siwaratri, ada pula disebutkan dalam Kekawin Siwaratrikalpa sarga 36 dan 37, namun
tidak selengkap seperti yang disebutkan dalam pustaka Siwaratri
Brata. Di dalam Kekawin
Ciwaratrikalpa tidak
disebutkan bantennya dan tidak disebutkan mantra dan stawa yang
dipakai, sedangkan dalam pustaka Siwaratri Brata disebutkan
hal itu.
3. KASUKSEMAN (FALSAFAH) SIWARATRI
Pada bagian ini saya coba mengemukakan Kesuksmaan Siwaratri yang sudah tentu berdasarkan analisis yang saya
lakukan sendiri. Dalam hubungan ini saya teringat dalam makalah yang dibawakan
oleh Bapak I Made Japa dalam sarasehan bahasa daerah pada tanggal 1 Januari
1981 di Denpasar yang memberikan pembahasan terhadap Kekawin Lubdhaka ditinjau dari segi kesuksmaan atau falsafah, namun dalam banyak hal berbeda
dengan apa yang saya kemukakan di sini.
Sebagai kajian saya menggunakan naskah Kekawin
Siwaratrikalpa dan Pustaka
Siwaratri Brata yang
bersifat tutur. Kekawin
Siwaratrikalpa terdiri
dari 39
sarga, sampai sarga yang terakhir merupakan colophon, dan
pada colophon itulah kita
jumpai nama Kekawin
Siwaratrikalpa yang
digubah oleh Empu
Tanakung sekitar
tahun 1466-1478 pada masa pemerintahan Sri Adi Suraprabhawa di Jawa Timur.
Untuk bahan analisis, maka di sini saya sajikan Ceritra
Lubdhaka dalam Kekawin
Siwaratrikalpa sebagai
berikut :
“Diceritakan seorang pemburu bernama
Lubdhaka. Mereka sekeluarga tinggal di puncak gunung yang indah. Pekerjaan si
Lubdhaka setiap hari adalah berburu binatang kehutan membunuh harimau, babi hutan, gajah, dan
badak serta semua binatang diburunya. Pada suatu hari
yaitu pada hari Panglong ke 14 sasih Kepitu (hari ke
14 bulan mati pada bulan ketujuh), pagi-pagi hari ia sudah meninggalkan rumahnya untuk berburu. Sudah sehari penuh
ia menyelusuri hutan rimba dan lembah-lembah, ia tidak memperoleh seekorpun
binatang buruan. Ketika itu si Lubdhaka sudah jauh dari rumahnya dan haripun
sudah menjelang malam. Untuk kembali pulang itu tidak mungkin ia lakukan,
karena hari sudah mulai gelap dan takut disergap binatang buas. Lalu ia menuju
kesuatu telaga dan di tepi telaga itulah ia berhenti sambil menunggu
kalau-kalau ada binatang yang datang ketelaga itu untuk meminum air. Karena
hari sudah gelap, si Lubdhaka takut untuk tinggal di bawah,
lalu ia naik memanjat pohon kayu bila yang
ada di pinggir telaga yang dahannya menjulur ke atas telaga itu. Di dahan
itulah ia duduk. Tidur di atas pohon itu juga ia tidak berani, takut kalau
jatuh. Untuk menghilangkan kantuknya, maka dipetiknyalah daun bila itu dan
dijatuhkan ke dalam telaga.
Tidak diduga di dalam air telaga itu ada
sebuah lingga yang
muncul dengan
sendirinya. Lingga itu adalah lingganya Dewa Siwa atau
perwujudan lambang Siwa.
Kebetulan pada malam itu adalah malam yang baik untuk melakukan pemujaan
terhadap Dewa
Siwa. Pekerjaan memetik daun bila itu semalam penuh sampai pagi besoknya,
sehingga ia melek semalam suntuk.
Keesokan harinya si Lubdhaka pulang dengan
tangan hampa, karena tidak seekorpun memperoleh binatang buruan. Sesampainya di
rumah ia disambut oleh anak dan istrinya.
Hari-hari berikutnya kembalilah ia
melakukan pekerjaannya seperti biasa yaitu berburu binatang kehutan. Demikianlah pekerjaan ia sehari-hari berburu
binatang untuk penghidupannya.
Pada suwaktu ketika, si Lubdhaka jatuh
sakit. Sakitnya makin menjadi-jadi dan akhirnya ia menemui ajalnya. Setelah ia
mati maka atmanya mangalami
kebingungan dan kegelapan karena semasa hidupnya pekerjaannya senantiasa
membunuh binatang. Dewa
Siwa mengetahui
hal itu dan mengenal pemburu itu karena dahulu pernah memujanya ketika di hutan
pada malam Siwa. Dewa
Siwa mengutus
abdinya (Watek Gana) menyambut atma si
Lubdhaka untuk dibawa ke Siwaloka. Saat itu datang pula
laskar Dewa
Yamadipati sebagai
penguasa neraka. Setelah didahului dengan perselisihan, maka terjadilah peperangan
memperebutkan atma si
Lubdhaka. Dalam peperangan itu laskar Dewa Siwa menang
dan atma si Lubdhaka dibawa keSiwaloka (Sorga) diberikan
tempat yang baik.
Dewa Yamadipati memprotes
karena merasa kurang adil atas tindakan Dewa Siwa itu.
Lalu beliau menghadap Dewa
Siwa dan
menuntut agar atma si
Lubdhka dibawa ke Neraka karena perbuatan
semasa hidupnya selalu membunuh binatang. Dewa Siwa menjelaskan
masalahnya, bahwa si Lubdhaka itu pernah memujanya pada malam hari tepat malam Dewa
Siwa. Oleh karena itulah ia mendapat pahala masuk Surga.
Hikmah apakah yang dapat kita ambil dari
ceritra di atas ?Ceritra di
atas sudah tentu mitologi, tetapi mempunyai tendensi tertentu dan mendalam.
Apabila tidak dikupas dan dicari hakekatnya, maka kita akan mendapat gambaran
bahwa karena telah memuja Dewa Siwa semalam suntuk pada hari panglong 14 sasih kepitu orang akan masuk Surga. Alangkah bahagianya mendapat surga dan alangkah gampangnya mendapat surga
? Bagaimana halnya dengan hukum karma?.
Dalam pendekatan filosofis ini, ada
beberapa hal yang terlebih dahulu perlu mendapat perhatian. Menurut hemat saya,
bahwa seorang Rakawi mengubah
suatu karya sastra adalah mempunyai tujuan tertentu. Mereka memandang perlu
suatu pengetahuan atau suatu hal penting untuk disebarluaskan kepada khalayak
agar dihayati dan dalam hal-hal tertentu dilaksanakan.
Pengubahan karya sastra atau kekawin,
dilandasi oleh konsep dasar yang dikembangkan dalam bentuk seni sastra dan
dikaitkan dengan sesuatu
cerita, ada dikaitkan dengan epos Ramayana atau Mahabarata, dan ada pula yang
dikaitkan dengan Purana atau ajaran agama. Ada juga karya sastra yang tidak
mengkaitkannya dengan suatu ceritra, melainkan langsung menguraikan konsep
dasar widya negara, kekawin Arjuna Wiwaha menonjolkan konsep
dasar filsafat Wedanta dan Yoga, kekawin
Baratayudha menonjolkan konsep dasar ksatria, kekawin Sutasoma menonjolkan
konsep dasar Buddha Mahayana yang telah sinkritis dengan Siwaisme, kekawin
Nirarthaprakerta menonjolkan konsep dasar filsafat Samkhya.
Demikian pula kekawin Lubdhaka menonjolkan
konsep dasar Yoga. Dalam pengertian Yoga juga terdapat brata. Maka itulah
kekawin ini bernama Siwaratrikalpa yang
berarti brata yang dilakukan pada hari malamnya Dewa
Siwa. Di dalam colophon kekawin itu
disebutkan:
“Nahan hingan iking kathakhya Siwaratrikalpa…………..
Filsafat Yoga mengajarkan
filsafat ajarannya kepadaSamkhya. Kalau filsafat Samkhya terdiri dari 25 Tattwas, maka Yoga menambah satu Tattwas lagi yang itu Iswara,sehingga menjadi 26 Tattwas. Maka itulah Yoga sering
dirangkaikan dengan Samkhya, sehingga disebut Samkhya Yoga, sedangkan Samkhya saja disebut Nir Iswara Samkhya. Di Indonesia (Bali), Samkhya Yoga disebut Siwatattwa atau hakekat ajaran Siwa. Di sinilah
kita melihat implikasi filsafat Hindu dengan Agama Hindu, sehingga Agama Hindu
dikaitkan dengan agama yang filosofis, bukan agama yang theologis.
Masalah lain yang perlu mendapat perhatian
dalam mengadakan pendekatan filosofis terhadap suatu karya sastra adalah adanya
beberapa simbolisasi tendensius di dalam karya sastra itu sendiri. Untuk menemukan simbolisasi itu
diperlukan analisis yang tajam dan kadang-kadang
tidak harus terpaku pada aturan sastra.
Atas dasar itu tadi, maka saya berusaha
menemukan simbolisasi yang terkandung dalam kekawin Siwaratrikalpadan
sekaligus berusaha menemukan hakekat pada brata Siwaratri itu
sendiri. Namun apa-apa yang saya kemukakan di sini adalah suatu usaha maksimal
yang kebenarannya perlu dipergunjingkan di dalam pertemuan ini.
Kata Lubdhaka (Sansekerit) berarti
pemburu. Pemburu adalah orang yang selalu mengejar dan mencari sesuatu. Yang
diburunya adalah binatang. Nama lain dari binatang adalah sattwa. Kata sattwa berasal
dari kata sat yang
berarti ini yang mulia atau hakekat. Kata twa berarti
sifat. Jadisattwa berarti bersifat ini atau bersifat
hakekat. Dengan demikian yang bernama Lubdhaka itu adalah pelukisan orang yang
selalu mengejar atau mencari inti hakekat yang mulia.
Apakah inti hakekat dalam kehidupan ini ?.
Untuk apa kita hidup ini ?. Arti dari pada hidup ini adalah memperoleh
kesempatan berkarma yang
baik untuk menebus
karma yang
tidak baik dimasa kehidupan-kehidupan yang lampau. Apabila
Subhakarma kita beri
nilai plus dan Asubhakarma kita
beri nilai min, maka nilai min diimbangi dengan nilai plus supaya tercapai
keseimbangan. Subha-Asubhakarma yang
seimbang kita beri nilai nol. Pada waktu mencapai nilai nol inilah atma terlepas dari hukum
karma dan
karenanya atma terlepas
pula dari lingkaran punarbhawa, sehingga
mencapai moksa.
Inilah arti hakekat kehidupan ini. Dengan lain perkataan, tujuan hidup ini
adalah tidak hidup lagi dalam artian punarbhawa.
Si Lubdhaka dikatakan bertempat tinggal di
puncak gunung yang indah (………..sthiyangheri puncak nikang acala
cabhyatyanta ramyalanga……..). di dalam bahasa sansekerta, gunung itu
disebut acala yang
artinya tidak bergerak. Gunung juga disebut lingga-acala artinya lingga yang
tidak bergerak atau tetap. Maka itulah menurut pandangan Hindu, para dewa
dipuja dipuncak gunung. Dewa Siwa sendiri dipuja di puncak gunung Kaliasa.
Bukankah pendirian pura besakih berdasarkan konsepsi ini?. Si Lubdhaka
bertempat tinggal di puncak gunung, adalah melukiskan orang yang taat dan tekun
memuja Dewa
Siwa (Siwa-lingga) sebagai manifestasi Hyang Widhi yang paling
utama dan sekaligus pula melukiskan sebagai seorang yogi
(Samkhya Yoga disebut Siwatattwa).
Si Lubdhaka dikatakan pekerjaanya memating
mong, wok gaja mwang wara. Memati berasal dari
kata pati.
Kata pati ada yang berarti air, ada
pula berarti penguasa. Contoh : tambanya ruaning
rangda lumaka pipis not patinye (obatnya: daun beluntas diremas ambil
airnya.)
contoh yang kedua:kepanggih irikang
tegal milu rikarya sang bhupatti(dijumpainya di tegal ) kuru (lalu) ikut
serta menemani perjalanan penguasa bumi (raja).
Di dalam bahasa Jawa Kuna, nama lain dari mong adalah wiagra. Apabila kata wiagra ini
kita uraikan, maka kita akan memperolah kata wi yang artinya jauh, utama dan kata agrayang
berarti puncak. Wiagra berarti
puncak yang jauh, puncak yang tertinggi atau puncak yang uttama. Apakah puncak
yang uttama adalah yoga
?. Dalam Yoga-Kundalinidisebutkan
bahwa apabila seorang yogi mendapat
tingkatan yang tetinggi, maka sama karmanya terbakar habis
dan ia mencapai kebebasan dari punarbhawa. Inipun yang serupa juga
kita baca dalam pustaka Wrasphati tatwa 74,
yang mengatakan sebagai berikut :
“Yapwan tiksna samadri nira sang yogiswara
geseng pwokeng tattwa I sor ning pradhana tattwa ketaken ing triguna tattwa” artinya : Apabila samadhinya
Sang Yogiswara telah
mencapai puncaknya, maka terbakarlah tattwa yang
tingkatannya di bawah pradhana
tattwa sampai
kepada tri
guna tattwa (maksudnya Sang
Yogiswaratelah menembus rintangan-rintangan ikatan prakertiuntuk
mencapai kebebasan dari punarbhawa).
Selanjutnya mengenai wok. Di dalam kekawin Arjuna Wiwaha, kata wok itu
disamakan dengan kata waraha yang secara harpiah berarti babi hutan. Kata waraha dapat pula kita pandang berasal dari kata warah yang
mendapat akhirana yang
artinya anugrah atau pawisik atau wahyu. Katawaraha juga bisa berubah menjadi waraha lalu menjadi wara, karena fonim h bisa hilang atau tidak diucapkan seperti pada kata kerthawara yang artinya anugrah yang baik.
Mengenai gaja. Kata gaja atau gajah
adalah kata dalam bahasa sansekerta. Gaja lain
katanya hasti.
Terhadap katahasti ini diperlukan aturan bahasa
Jawa Tengahan yaitu
apa yang disebut dengan istilah dwiwasana. Maka dari itu katahasti lalu di-dwiwasanakan menjadi hastiti yang
artinya senantiasa berbakti kepada Hyang Widhi sebagai
realisasi dariBhakti Marga. Perubahan kata hasti itu
adalah memungkinkan kalau kita melihat di dalam kekawinBarathayudha ada
disebutkan kata hastina yang
artinyagajahoya.
Mengenai kata warak, kita tidak bisa menganalisis dari etimologi dan
sinonim. Kalau kita ingat bahwa binatang warakatau badak itu adalah binatang yang digolongkan suci dalam
upakara yadnya Agama Hindu, maka analisis kita adalah dari segi ini. Air
gesekan gerahamnya badak (asaban baham warak) diperlukan dalam jenis
upakara tertentu sebagai unsur penting. Demikian pula darah badak diperlukan
bagi jenis upakara tertentu . badak adalah binatang suci, makanannya adalah
daun-daunan. Dengan demikian dapatlah diambil simbolisasi bahwa badak
melambangkan kesucian.
Memating mong, gaja mwang warak, berarti telah menguasai atau mendapatkan
puncak yoga atau semadhi, telah
mendapatkan anugrah Hyang Widhi karena
tekun astiti
baktikepada Hyang
Widhi dengan
kesucian bathin. Inilah makna yang terkandung di dalamnya.
Di dalam cerita si Lubdhaka dikatakan naik
ke dahan pohon bila (irika tikang nisada mamenek pang ing maja…….). Apa
yang dimaksudkan?. Walaupun di dalam teks tidak tedapatkata puhun (pohon),
namun yang dimaksudkan denganmemenek bang ing maja adalah
naik dahan pohon bila. Di dalam Pustaka Tutur Suksma kita
jumpai istilah kebatinan seperti: gulupuhun, kredhadesa, tampaking
kuntul hanglayang, keris manjing urangka, galihing
kangkung dsb.
Secara kebatinan yang dimaksudkan gulupuhun adalah ibu
jari kaki. Puhun dalam
bahasa Jawa Kuna atau dalam bahasa Bali berarti pohon. Gulupuhun yang
secara kebatinan berarti ibu jari kaki, dapat pula dimaksudkan sebagai titik
tumpu untuk berdiri atau dengan kata lain adalah pangkal pendirian. Kalau kata
pohon kita ganti dengan
kata wit dalam
teks kita sisipkan kata itu hingga menjadi kalimat yang berbunyi “……………memenek
pang ing wit maja………….” (kalimat yang sempurna dari pada”…………memenek
pang ing maja…………”),
maka kata wit itu
berarti pula
pangkal atau asal. Kata majaatau wilya yang
kemudian berubah menjadi bila, ini bisa dianalisis dari
hukum perubahan bunyi dalam kata-kata Bahasa Indonesia. Kata bila dapat
berubah menjadi wilamengikuti
hukum PBW dan RDL yang berarti: perwira, teguh hati, tekun.
Dengan analisis ini, maka naik pohon bila itu mengandung arti simbolik yang
menggambarkan bahwa ia adalah bertumpu pada atau berpangkal telak dari
keteguhan hati atau ketekunan.
Selanjutnya diceritakan si Lubdhaka
memetik-metik daun bila dijatuhkan kedalam telaga yang secara tiba-tiba muncul lingga di dalam
telaga itu
dan daun bila yang
dijatuhkannya mengenai lingga itu. (di dalam kekawin tidak disebutkan
jumlah daun bila yang dipetik, tetapi dalam pustaka Siwaratribrata disebutkan
sejumlah 108 lembar. Kata don berarti tujuan atau dapat pula berarti perbuatan.
(………..ia ngandong kema……… ia sengaja berbuat sesuatu kesana).
Memetik-metik daun mengandung arti simbolik, bahwa ia menghitung-hitung
perbuatan yang telah dilakukanya (subha-asubhakarma).
Apabila angka 108 itu dijumlahkan
menjadilah ia angka 9, angkan 9 adalah angka yang tebesar. Ini merupakan
simbolik dari pada perbuatan si Lubdhaka yag didasari oleh keteguhan hati atau
ketekunan memuja Dewa
Siwa adalah
telah mencapai puncaknya.
Atas dasar analisis-analisis itu tadi,
maka kita peroleh gambaran bahwa cerita Lubdhaka itu adalah simbolik dari
seorang yogi yang
tekun memuja Dewa
Siwa sebagai
manifestasi Hyang
Widhi yang
paling utama. Ia senantiasa mengejar hakekat yang mulia dan telah mendapatkan puncak
yang tertinggi dalam yoga yaitu semadhi,
telah mendapat anugrah atau wahyu kesucian dari Hyang
Widhi, karena tekun serta teguh hati astiti bakti kehadapan Hyang
Widhi yang
dilandasi oleh batin yang suci. Ia senantiasa menghitung-hitung subha-asubhakarma yang
dilakukan dan senantiasa melakukan subhakarma untuk
menebus karmawasana yang digolongkan asubhakarma dimana
kehidupannya dahulu sampai keduanya menjadi balance/sama.
Yogi yang demikian itu senantiasa melakukan “Siwa
bhakti gineng lana ginawe”. Dewa Siwa selalu rumaketing
citta, selalu menjadi
titik sentrum dalam memujanya dan dalamyoganya. Wah……..betapa sulitnya menghubungkan diri (yuj)
dengan Dewa Siwa. Sebagai suatu ilustrasi saya kutipkan suatu bait
dari Puja Homa, sebagai berikut:
“Agni madhya Ravi Saiva
Ravi madhyastu Candramah
Candra madhya bhave Shuknah
Sukla madhya sthitah Sivah”.
Artinya:
Di dalam api adalah matahari
Di dalam matahari adalah bulan
Di dalam bulan adalah suci hening
Di dalam suci hening itulah Dewa
Siwa berada.
Pada malam hari panglong 14 sasih kepitu, Dewa Siwamenurunkan ajaran yang bernama “Brata
Siwaratri” yang memberikan pahala yang mulia. Di dalam sarga 34.4 kekawin Siwaratrikalpa disebutkan sebagai berikut:
“Thun kalewih ing bratenajarakon
mami niyate maweh phaladhika.
Tuwin milagaken saduskrta teher
masung aticaya bhoga bhagya len.
Awin tun angusir yamandha phalaning
jana gumayaken tikang brata
Sapapaka nika cirna den I phalaning
brata winuwusakenku, tan salah……….”.
Artinya:
Sungguh kemuliaan brata yang Aku ajarkan
dengan jelas memberikan pahala yang utama
Juga menghilangkan semua perbuatan yang
tidak
baik lalu memberikan kebahagiaan dan
kesejahteraan yang menakjubkan
Hal itu tidak akan menuju yamaloka (neraka)
akibat atau hasil yang melakukan brata itu
Semua nerakanya lenyap dikarenakan oleh pahala
dari brata yang Aku ajarkan, (tidak
masalah).
Brata Siwaratajani adalah suatu
bentuk yoga.
Yoga ada
bermacam-macam seperti: Yogakundalini, Yoganidra, Yogasana dan
lain-lainnya. Prinsip yoga adalah
suatu cara untuk menghubungkan diri dengan Hyang Widhi. Pada malam hari panglong
14 sasih kepitu itu
seorang Yogi yang
telah sering melakukan yoga mendapatkan titik kulminasi dariyoganya yaitu semadhi.
Semadhi berarti
berkumpul atau atatu kontak dengan yang maha mulia. Sesuai dengan keterangan
dalam pustaka Whraspati
Tattwa di
atas, maka bagi mereka yang telah mencapai semadhi, segala papa nerakanya
terbakar, dibakar oleh panasnya api gaib (bahaimaya) sebagai akibat dari
matangnya yoga.
Oleh karena papa
neraka itu adalah akibat atau pahala dari dosa, maka hal itu juga berarti
terleburnya dosa yang telah diperbuat.
Semadhi itu tidak
lama, hanya satu atau dua detik saja, laluatma kembali
memasuki sarira.
Atama yang
kembali memasuki sarira seperti
itu diistilahkan dengan keris manjing urangka. Apabila
dalam keadaan semadhi
atma tidak
kembali memasuki sarira inilah
yang disebut jalan
mati yang
benar seperti dibentangkan di dalam pustaka tutur kamoksan.
Semadhi dapat mencapai beberapa kali dalam yoga.
Walaupun demikian, namun tidak setiap melakukan yogaakan
dapat mencapai semadhi.
Pengalaman pribadi menunjukan, bahwa semadhi itu
sulit dicapai tetapi bisa dicapai karena…….Bhatara Ciwa tan keneng
inangen-angen, apan sira wapaka……..
Menurut hemat saya, inilah hakekat Siwaratrikalpa ditinjau
dari segi kesuksmaan yang
kita laksanakan
setiap hari panglong 14 sasih kepitu, memberikan
hikmah yang tertinggi bagi cita-cita kehidupan umat Hindu. Oleh
karenanya patutlah Siwaratri itu kita rayakan secara spesipik dengan brata
Siwaratri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar