,

" OM AWIGNAM ASTU NAMA SIDAM, OM SUASTIASTU, SELAMAT DATANG DI BLOG SATRIA PRATAMA "

Rabu, 03 Juni 2015



masa lalu yang indah disaat bhaktiku untuk negeri tercinta NKRI
hallo aku lagi pesiar ke kebun raya bedugul............. asyyyk deh udaranya seger


















































Kamis, 07 Agustus 2014

BABAD KSATRIA TAMAN BALI



Sejarah terbentuknya puri agung bangli dan puri agung taman bali sangat erat kaitannya dengan babad ksatria taman bali.

Tersebut bahwa Bhatara Subali bersaudara dengan Dalem Bhatara Sekar Angsana, Bhatara Subali berasrama di Tolangkir. Bhatara Sekar Angsana berasrama di Pura Dasar Gelgel, Ada lagi saudaranya, bernama Sang Hyang Aji Rembat (penawing) berasrama di Kentelgumi, Sang Hyang Aji Rembat berputra Ida Mas Kuning berasrama di Guliang, berasrama di bukit Pangelengan.
Tersebut seorang pendeta Sang Pandia Wawu Rawuh, bertemu dengan Bhatara Subali di Tolangkir, Sang Pandia Wawu Rawuh hilir mudik menyusur tepi sungai Melangit. Tetapi, tidak menemukan mata air. Lalu beliau menancapkan tongkat pada-batu padas hingga keluar air yang jernih mengalir.

Bersama dengan keluarnya air itu, muncul pula seorang wanita. Sang Pandia Wawu Rawuh menanyai wanita itu, dan memberi nama Ni Dewi Njung Asti. Air itu diberi nama Tirta Harum. Ni Dewi Njung Asti disuruh menunggui air itu dan Sang Pandia Wawu Rawuh kembali pulang
.
Bau harum itu sampai ke udara. Tercium oleh Hyang Wisnu dan segera bercengkrama di Tirta Harum. Di sana di sebuah gua tampak oleh Bhatara Wisnu seorang gadis, tetapi sang gadis tidak melihat. Bhatara Wisnu mandi dan keluar air mani, karena tak tahan melihat gadis itu. Bhatara Wisnu kembali ke Wisnuloka.
Ni Dewi Njung Asti keluar dari gua, melihat air mani Bhatara Wisnu di atas batu, lalu diambil dan dimakannya. Dewi Njung Asti, akhirnya hamil
 .
Dalam keadaan hamil Ni Dewi Njung Asti berkunjung pula Hyang Wisnu, serta bertanya asal usul dirinya. Setelah diceriterakan dengan jelas, maka Ni Dewi Njung Asti, diajak ke Wisnu Bhuana.

Bhatara Subali memaklumi air suci (Tirta Harum)itu. Disuruhnya Sang Hyang Aji Rembat menjaganya dan membersihkan pancuran setiap hari. Bhatara Subali membuat telaga meniru di Majapahit, maka diberi nama Taman Bali.
Lama kelamaan mereka masing- masing mempunyai putra, Sang Hyang Aji Jayarembat berputra Sira Dukuh Suladri. Ida Mas Kuning berputra dua orang, Ida Tapadhana dan Ida Nagapuspa. Bhatara Dalem Sekar Angsana berputra Ni Dewi Ayu Mas.

Bhatara Subali memohon kepada Hyang Wisnu. Permohonannya terkabul, yaitu putra yang lahir dari Dewi Njung Asti bernama Sang Gangga Tirta. Anak itu dibawa oleh Bhatara Subali ke Tirta Harum. Bhatara Subali kembali ke Tolangkir
.
Keesokan harinya, Sang Hyang Aji Jayarembat mendapatkan bayi itu pada pancuran di Tirta Harum. Segera datang Bhatara Subali menegaskan bahwa anak itu adalah putranya yang diperoleh dari Bhatara Wisnu
.
Berkat Restu Bhatara Subali, anak itu diasuh oleh Sang Aji Rembat, semula

bernama Sang Angga Tirta lalu diganti dengan nama Sang Anom, dalam waktu singkat, anak tersebut sangat rupawan dan telah remaja putra, kemudian pindah ke Rewataka Singasara.

Tersebut bahwa Ni Dewi Ayu Mas di Gelgel sakit keras, Dipindahkan ke Taman Bali  Diobati oleh Sang Hyang Aji Jayarembat. Dalam waktu singkat telah sembuh. Diajak kembali ke Gelgel, kemudian penyakitnya kambuh lagi. Demikian berulang-ulang akhirnya tinggal di Taman Bali sampai dewasa.

Terjalinlah hubungan antara Sang Anom dengan Dewi Ayu Mas hingga hamil, Dalem Sekar Angsana amat marah, dan memerintahkan untuk membunuh Sang Anom, dan Sang Hyang Aji. Rembat agar diantarkan ke Gelgel, Namun Dalem mengirim utusan rahasia untuk menyuruh Sang Anom menyingkir , Maka Sang Anom tiba di Tianyar luput dari serangan musuh
.
Lama kelamaan Sang Anom melawat ke desanya kembali, sambil memikat burung di tengah hutan Jarak Bang. Sang Anom bertanya dijawab dengan kelakar berkali-kali. Sang Anom marah dan mengutuk tempat itu agar bernama Bangli, orang-orang dusun itu melaporkan ke Gelgel. Dalem memerintahkan untuk menangkap pemuda tersebut dan diantarkan ke istana Gelgel
.
Sang Anom tertangkap dan diantar ke Gelgel. Mereka yang melihat pada bersedih menyaksikannya. Setelah tiba di Gelgel, Dalem memerintahkan untuk menangkap Sang Hyang Aji Jayarembat, dalam waktu singkat telah berhasil diserahkan kepada Dalem.

Bhatara Subali dari Tolangkir menghadap ke Gelgel melarang Dalem untuk membunuhnya serta menceriterakan riwayat kelahiran Sang Anom dan meminta agar Sang Anom bersuami istri dengan Dewi Ayu Mas serta kembali ke Taman Bali. Dalem dapat menyetujui dan kemudian sangat menyayangi sebagai menantu.

Restu Bhatara Subali kepada Sang Anom sebagai cikal- bakal Ksatria Taman Bali lahir dari Tirta Harum
.
Juga upacara dan upakara pembakaran jenasah sesuai dengan seorang Ksatria. Tidak boleh lupa turun- temurun agar nyawi ke Tirta Harum.

Sang Anom dan Ni Dewi Ayu Mas sedang hamil berada di Taman Bali, Sang Anom meninggalkan istrinya untuk bertapa, dengan pesan bila lahir anaknya nanti agar diberi nama I Dewa Garba Jata. Dan disediakan sebilah keris yang bernama Ki Lobar untuk senjatanya di kemudian hari, bila Dalem meminta jangan diberikan.
Pada saatnya I Dewa Garba Jata pun lahir. Setelah dewasa menanyakan perihal ayahnya. Sang ibu menceriterakan tengah bersemadi di hutan Dawa, serta ciri-cirinya yang khas, Kemudian I Dewa Garba Jata menjumpai ayahnya, tetapi tidak berkenan kembali pulang, Putranya disuruh kembali dan menjadi raja di Taman Bali. Dan tetap nyawi ke Tirta Harum serta Ki Lobar. Sang Anom pun wafat, I Dewa Garba Jata -kembali ke Taman Bali dan menceriterakan semuanya kepada ibunya.
Dalem amat cinta kepada I Dewa Garba Jata dan menganugrahkan seorang putri beliau untuk menjadi istrinya. Langsung upacara wiwaha menurut tata cara Ksatria.
I Dewa Garba Jata memperoleh seorang putra bernama Cokorda Den Bancingah,

Setelah dewasa beristri putri Kyayi Jambe Pule. Melahirkan putra bernama Cokorda Pemecutan, Cokorda Pamecutan berputra I Dewa Gde Den Bancingah. I Dewa Gde Den Bancingah berputra I Dewa Kanea Den Bancingah. I Dewa Kanea Den Bancingah berputra I Dewa Gede Tangkeban. I Dewa Gede Tangkeban banyak putranya:
1.            I Dewa Pering
2.            I Dewa Pindi
3.            I Dewa Prasi
4.            I Dewa Kaler
5.            I Dewa Batan Wani
6.            I Dewa Pulesari
7.            I Dewa Mundung
8.            I Dewi Kliki
9.            I Dewa Gde Anom Teka
10.         Tak tercatat yang wanita.
Perpindahan putra-putra I Dewa Gede Tangkeban
1.            I Dewa Pering ke Brasika (Nyalian)
2.            I Dewa Prasi ke Gaga
3.            I Dewa Pindi ke Telagasura
4.            I Dewa Kaler tetap di Taman Bali.
Keris pusaka Ki Lobar dimohon oleh I Dewa Gde Pering kepada I Dewa Gde Tangkeban di Taman Bali. Keris dibawa ke Desa Nyalian.

Tersebut seorang raja di Bangli bernama Kyayi Anglurah Prawupan (keturunan Arya Batan Jeruk). Raja Taman Bali mengutus dua orang pesakitan untuk membunuh raja Bangli. Namun gagal, Kemudian raja Bangli mengutus kembali dua pesakitan itu untuk membunuh raja Taman Bali dengan janji bila berhasil diberikan hadiah kekuasaan di daerah itu, Pesakitan itu berusaha membunuh I Dewa Taman Bali, namun pesakitan itu dapat dibunuhnya. I Dewa Taman Bali hanya menderita luka berat dan lama belum pulih.

Sedang dalam penderitaan luka parah, istri I Dewa Taman Bali digauli oleh putranya sendiri yang bernama I Dewa Kaler. I Dewa Kaler diusir dari Taman Bali kemudian bernama Pungakan Kedisan karena dalam perjalanannya disambar burung gagak, juga disebut Pungakan Don Yeh karena waktu berangkatnya mengarungi hujan lebat dan banjir.

Setelah raja Taman Bali wafat, diganti oleh putranya bernama I Dewa Anom Teka hendak menuntut balas atas wafat ayahnya yang direncanakan oleh Anglurah Paraupan di Bangli. Hal itu didukung oleh sanak keluarga dan pejabat- pejabat bawahannya. 
Segera mereka menyerang Bangli di bawah pimpinan I Dewa Anom Teka.

Terjadi peperangan sengit antara Taman Bali dengan Bangli yang dipimpin oleh Kyayi Paraupan dan putranya Kyayi Anglurah Dawuh Bahingin. Kyayi (Pamamoran) tewas, Kyayi Dawuh Bahingin tewas pula. Kyayi Paraupan tampil sebagai pimpinan perang. Beliau pun gugur pula. Akhirnya Bangli mengalami kekalahan.

Setelah Bangli kalah para putra Taman Bali beralih tempat. I Dewa Gede Perasi di Bangli, I Dewa Gede Pindi di Gaga
.
Di Taman Bali bertahta I Dewa Anom Teka menggantikan ayahnya. Berdiri tiga kerajaan, Bangli, Taman Bali, Nyalian
.
I Dewa Gde Prasi Raja Bangli, mempunyai seorang putri bernama I Dewa Ayu Den Bancingah. Tanpa keturunan.

I Dewa Kanea (ipar Dalem Linggarsapura) amat disayang oleh Dalem, diberi pangkat Kanea, diam di Utara Bancingah bergelar I Dewa Kanea Den Bancingah. Mempunyai seorang putra bernama I Dewa Gede Tangkeban, sebab pada waktu lahirnya tanpa sengaja ditutup kasur tempat duduk raja oleh Ki Arya Jambe Pule.

Pada saat terjadi pemberontakan Kyayi Anglurah Agung di Gelgel, Dalem Dimade mengungsi ke Guliang. I Dewa Kanea Den Bancingah kembali ke Brasika membawa keris Ki Lobar.

Taman Bali dikalahkan oleh Kyayi Anglurah Made dari Karangasem. Putra-putra raja Taman Bali diungsikan, ke Gianyar oleh I Dewa Manggis, Kemudian I Dewa Agung Gde diam di Taman Bali karena Taman Bali diserahkan oleh Kyayi Anglurah Made Karangasem. I Dewa Agung Gde menyerahkan desa-desa: Cegeng, Tembaga, Tohjiwa, Sangkan Aji, Margayu, Pamubugan, Sukahet, Lebu, kepada Anglurah Made Karangasem, I Dewa Agung Gde berputra dua orang di Taman Bali, pria-wanita. Yang pria bernama, I Dewa Agung Gde Taman Bali.
I Dewa Gde Taman Bali menggempur Taman Bali atas bantuan I Dewa Manggis, Taman Bali dikuasai kembali. I Dewa Agung Gde mengungsi ke Puri Kanginan (Klungkung)

I Dewa Manggis ingin melihat warna Ki Lobar. Tak diijinkan oleh Dalem. Namun niatnya tak kunjung padam.

Lama kelamaan Dalem meminjamkan keris Ki Lobar. I Dewa Gede Tangkeban menjadi salah paham, I Dewa Taman Bali dan I Dewa di Bangli menyarankan agar dipertahankan meskipun apa terjadi. Didukung oleh sanak keluarga dan rakyatnya. I Dewa Agung Putra mendengar hal itu maka baginda minta bantuan ke Karangasem dan Gianyar untuk menggempur Nyalian. Terjadi perang sengit, I Dewa Gede Tangkeban minta bantuan Taman Bali dan Bangli, namun belum diberikan. Ternyata I dewa Gede Tangkeban tetap mengadakan perlawanan bersama sanak keluarganya. Banyak jatuh korban. I Dewa Gede Tangkeban tampil ke depan dengan menghunus Ki Lobar, hingga musuh- musuhnya lari tunggang-langgang. Kemudian pasukan Dalem maju lagi. I Dewa Gede Tangkeban tertembak, namun tidak gugur. Terpikir olehnya, kekecewaan dirinya, sehingga timbul kemarahannya pada sanak keluarganya di Bangli dan Taman Bali, beliau pun mengutuk agar selalu cekcok sesama keluarganya. Lalu ujung Ki Lobar dipotongnya. I Dewa Gde Tangkeban gugur dalam peperangan, Nyalian dikuasai oleh Klungkung.
I Dewa Gede Tangkeban meninggalkan seorang putra dilarikan ke Bangli oleh ibunya. Kemudian diasuh sebaik baiknya oleh I Dewa Ayu Den Bancingah, seperti putra kandung karena I Dewa Ayu Den Bancingah tidak berputra selama bersuami istri dengan I Dewa Anon Rai.

I Dewa Anom Rai mempunyai seekor kuda bernama Gandawesi dan mempunyai keahlian dapat melihat apa yang terjadi.
I Dewa Anom Rai kawin dengan seorang kasta sudra, sehingga I Dewa Den Bancingah tidak diperhatikan lagi, timbul sakit hatinya dan menyidangkan bawahannya. I Dewa Ayu Den Bancingah berkat bantuan seorang dukun Ida Waneng Pati berhasil membunuh I Dewa Anom Rai di tempat tidurnya. Kemudian I Dewa Ayu Den Bancingah menjadi Ratu. Keamanan pulih kembali.
Putra I Dewa Gede Tangkeban yang diasuh di Puri Bangli telah dewasa. Belum beristri. Senang tari- tarian antara lain, gambuh, legong, mencari guru tari ke Sukawati. Kesenangannya itu sama dengan kesenangan raja Taman Bali. Sering saling sabot guru tari, timbul cekcok antara Bangli dan Taman Bali. Taman Bali hendak menyerang Bangli, maka minta bantuan pada Dalem di Klungkung. Dalem tak berkenan karena tak pernah cekcok dengan raja Bangli. I Dewa Taman Bali merasa kecewa. Kemudian I Dewa Gede Raka Taman Bali mengumpulkan sanak saudara antara lain; I Dewa Gede Mundung, I Dewa Pulesari, I Dewa Batan Wani, I Dewa Jelepung, I Dewa Pindi, I Dewa Rendang, I Dewa Guliangan, I Dewa Pasalakan. Semua setuju menggempur Bangli tetapi agar minta bantuan ke Gianyar. Hal itu disetujui oleh I Dewa Taman. Bali, lalu minta bantuan kepada I Dewa Manggis dengan catatan bila Bangli kalah agar dibagi dua. Pasukan Gianyar dipimpin oleh Cokorda Mas. Bangli kalah dikuasai oleh Taman Bali dan Gianyar. Raja Bangli bersembunyi di Kehen. Raja Taman Bali mengepung Kehen, dan raja Gianyar menunggu di Taman Bali.

I Dewa Ayu Den Bancingah setelah memperoleh wahyu di Pura Kehen, hendak berhadapan dengan I Dewa Taman Bali. Namun bersimpang jalan, perjalanannya langsung ke selatan hingga ke Taman Bali, maka berhadapan dengan I Dewa Manggis, pasukan I Dewa Manggis kalah, mereka kembali ke Gianyar.
I Dewa Taman Bali tiba di Kehen, tidak berjumpa dengan siapa pun juga. Melihat asap mengepul di arah selatan. Disangka raja Gianyar berbuat buruk. Segera beliau hendak menghadapi raja Gianyar. Tiba di Taman Bali, ternyata sunyi-senyap. Dugaannya semula semakin tebal dan kuat

I Dewa Taman Bali menerima laporan dari Guliang, bahwasanya ada serangan pasukan Klungkung. Pasukan Klungkung dihadapinya, pasukan Klungkung ketakutan, sebab tujuannya bukan untuk berperang, melainkan Cokorda Dewagung Putra ingin bertemu dengan I Dewa Manggis. Karena serbuan pasukan Taman Bali, maka baginda kembali melalui jembatan darurat. Jembatan itu patah menimbulkan banyak korban, Dewagung Putra wafat di Blahpane. Bhatara Dalem Sakti (ayah Dewata di Blahpane) amat murka dan memerintahkan agar Gianyar dan Bangli menyerang Taman Bali, Terjadi pertempuran sengit sasih ke 5, rah 9, tenggek 3, titi tanggal 13 Isaka 1809. Taman Bali kalah, dibumi hanguskan oleh Bangli. Dan kekayaan Taman Bali dibawa ke Bangli, Raja Bangli tetap I Dewa Ayu Den Bancingah.

Senin, 06 Mei 2013

SIWARATRI




1.            Pengertian Siwaratri.  
               
Istilah yang lengkap mengenai Siwaratri adalah Siwaratrikalpayang berarti Brata Siwaratri. Untuk memperoleh gambaran pengertian Siwaratrikalpa, baiklah saya akan kutipkan perkataan Maha Rsi Wasistha kepada raja Dilipa dalam lontar Padmabhuana sebagai berikut :

Srnu rajan prayakayami sivaratrivratah tava vratanam uttaman sukene
chivalokaikasadhanam,
Maghaphalgunayer madhye kranapakno caturdasi sivaratri vijnayo narvapapapaharini.
Krtopavana toyam siwam arsanti jageatah bilvapatrtis caturyaman teyanti sivarulyatam.
Na tapobhir na danais cca na va japyasamadhibhih prapyate tatphalam rajan
nopavasamakhadibhih.
Guhyad guhyatarah loka vratam otas chivapriyam tvayapi khalu narvatra na prakasyam idam vratam.
Bhudaranam yathasmarus tojasam bhaskaro yatha dvipadam ca yatha viprah kapilova caruspadam.
Japyanam iva gayatri rasanam amratam yatha purusanam yatha visruh strinam yadvad arundhati.
Sivaratrivratad rajan vratanam uttamam tatha sivaratir mahavahnir bhavanicasamanvita.
Dahaty svarito yogao chuskardam kalmasedhanam otat yo kathitam rajan
sivaratrivratam mahat evam eva pura dovyai mahadevana bhasitam.

Artinya :

Tuhanku, dengarkan, dan saya akan menerangkan kepada Tuanku tentang brata malam Siwa, yang jelas merupakan brata yang paling istimewa, yaitu jalan untuk mencapai sorganya Siwa.
Malam ke 14 yang gelap pada pertengahan bulan Magha (sasih kepitu) atau phalguna (sasih Kaulu)  haruslah dikenal sebagai malam Siwa yang membebaskan semua dosa.

Mereka yang berpuasa dan tetap tidak tidur, berbhakti kepada Dewa Siwa dengan daun bila selama malam itu mendapatkan identitas dengan Dewa Siwa.

Bahwa imbalannya tidak diperoleh dengan kekerasan, tidak juga dengan hadiah-hadiah, semadhi, doa, puasa dan lain-lain, Brata ini adalah sangat rahasia di dunia ini, dan tentu saja tidak boleh dibuka di mana-mana walaupun oleh Tuhanku sendiri.   Brata malam Siwa merupakan brata yang paling istimewa, ibarat Merunya pegunungan, matahari dari apa saja yang bersinar, guru dari mahluk-mahluk yang berkaki empat, gayatrinya doa, amertanya cairan, Wisnunya orang laki, Arundhatinya orang wanita.

Malam Siwa yang diasosiasikan dengan Dewa Bhavani, begitu terjadi kontak, membakar bahan bakarnya dosa, baik basah maupun kering. Brata agung malam Siwa ini, telah diuraikan kepada Tuhanku seperti telah diceriterakan kepada Dewi sebelumnya oleh Mahadewa.

2.            Tata Cara Melaksanakan Siwaratri

Tata cara melaksanakan Brata Siwaratrikalpa, disebutkan dalam pustaka “Siwaratribrata”. Koleksi Ida Pedanda Gede Pemaron di Munggu. Di dalam pustaka ini diberikan petunjuk terutama bagi sulinggih dalam melakukan Siwaratrikalpa, lengkap dengan puja mantranya, pendahuan (menggala) pustaka ini berbunyi:

Rihankrama Siwaratri brata uttama, tindakira sang pandhita siwa mwang budha, sang meharep lepas saking atma sengsara, siddhaning yasa, tapa, brata, dhyana, yoga, semadi mwang kritinya………”

artinya:

“Inilah tatacara melaksanakan Brata Siwaratri utama, yang diharapkan terlepasnya atma dari sengsara, berhasilnya yasa, tapa, brata, yoga, semadhi serta kirtinya………”

Hooykaas dalam bukunya “Agama Tirtha” mencantumkan transkrip naskah upacara Siwaratri, terutama mengenai upacaranya. Menggala dari naskah itu menyebutkan :

“Iti kalingan Brata Siwaratri, caru ring sanggar tawang, 4 dandanan tekang catur, banten gana, banten sumur, banten pelinggihan (saha) dandanan swang………”

Artinya :

Inilah keterangan mengenai Brata Siwaratri, caru di (sor) sanggar tawang, dandanan 4 lengkap dengan catur banten gana, banten sumur, banten pelinggihan (daksina pelinggih) disertai dandanan masing-masing……..

Saya berusaha mensinkrunkan isi kedua naskah itu dan mencoba mengambil isinya, karena betapa sulitnya menyusun suatu tata cara pelaksanaannya yang didasarkan atas petunjuk yang kurang lengkap dan tradisi yang berpariasi. Atas dasar kedua naskah itu maka pelaksanaan upacara-upacara Siwaratri dapat dibedakan menjadi dua yaitu: Sadhaka dan walaka.  Dalam hubungan ini ada 3 hal yang perlu diperhatikan yaitu: Upakaranya, Bratanya, danTatacaranya. Inipun masih dibedakan lagi menurut tingkata:Uttama, Madhya dan Nistha.


A.   Upacara Ciwaratri untuk Sadhaka.

UPACARA

a.            Uttama:               Mendirikan sanggar tawang berisi banten catur wedhya, daksina sarwapat 1, suci wedhya 3, dandanan, peras, ajuman, sodan, salaran, kelanan, sorohan, karangan itik, pangkonan dan rayunan prangkat, ulam itik. Di hadapanmepuja: banten gebogan, bubuh mesaji, sogo liwet, bubur putih, bubur bang, bubur wilis misi tatakhijo (kacang ijo), sesayut pancalingga, pras gede, tumpeng, pengambian, prayascita luwih, penyeneng, pedudusan agung, pengerosikan, lingga diisi rerajahan padmanglayang dan kain sutra kuning diisi rerajahan padmasana. Selain itu dibuatkan lingga emas diisi dengan kain sutra kuning sebagai Ciwapratistha. Ayaban saha bebangkit dan sesayut durmanggala.

Bunga berwarna-warni yaitu: menuh, kemiri, gambir, kecubung, weduri putih, pudak, angsoka, sari tangguli, tanjung, kalak, cempaka, tunjung biru, tunjung bang, tunjung putih, sulasih, merak, daun bila 108 lembar, wangi-wangian dan padang lepas. Di pelinggih kamimitan berisi banten pejatiselengkapnya asoroh. Di bawah: banten caru ayam brumbun biakala, gelarsanga, segehan agung.

b.            Madhya               : Banten seperti pada tingkat uttama, tetapi di sanggah surya memakai banten ardhanareswari tidak memakai catur, daksina, sorohan suci alit, peras, sodan, kelanan. Dihadapanmepuja: banten ayaban mejerimpen tanpa bebangkit, padudusan alit, bubur putih, bubur wilis berisi tatak hijo, mesayut pancalingga, tumpeng, pengambian, prayascita, penyeneng, pangaresikan. Lingga mas diganti dengan lingga perak dan dihiasi dengan pucuk daun bila 108 lembar seperti pada tingkan uttama.Di kamimitan berisi banten pejati asoroh. Di bawah (natar), banten caru ayam brumbun, biakala, segehan agung.

c.             Nistha   :               Di sanggar surya banten pejati asoroh. Dihadapanmepuja benten prayascita, penyeneng, pangeresikan, sesayut panca lingga, ayaban, sakabuatan. Di halaman (natar) banten segehan agung, banten kamimitan, pejati asoroh, lingga dibuat dari bunga widuri putih dihiasi pucuk daun pisang kayu, bunga bercarbang dan daun bila 108 lembar seperti di atas.

BRATA

a.  Uttama,          Melakukan brata yaitu: Monobrata (tidak berbicara dan duduk beryoga) setelah melakukan persembahyangan dan mepuja Argha serta Pasanglingga yang didahului dengan Suryasewana dan Pujaparikrama, Upawasa (tidak makan, tidak minum), Jagra (tidak tidur).

Ini dilakukan 36 jam yaitu mulai matahari terbit hari panglong 14 sasih kepitu sampai matahari terbenam hari tilem sasih kepitu. Di samping itu upakaranya lengkap seperti di atas.

b Madhya, Upakara seperti tersebut di atas dan bersembahyang dan mepuja Argha dan Pasanglingga. Bisa tanpa Monobrata, tetapi melakukan Upawasa dan melakukan jara. Untuk menghilangkan ngantuk, bisa dihibur dengan membaca pustaka yang memuat sastra agama, Itihasa atau Wiracarita. Inipun harus dilakukan 36 jam seperti tersebut di tingkau uttama.

c.   Nistha,                 Brata yang dilakkan bisa dikurangi dar yang semestinya, bisa tanpa melakukan Monobrata, melainkan hanya bersembayang dan mepuja parikrama seperti biasa, tanpa melakukan Upawasa, tetapi harus melakukan jagra selama 36 jam seperti tersebut tadi untuk menghilangkan ngantuk, dibacalah kitab pustaka sastra agama, Itihasa atau Wiracarita. Bisa juga berjalan-jalan kesana-kemari ketempat-tempat suci.

Tata Cara

Bagi Sadhaka yang Nabenya masih ada, terlebih dahulu melakukan padacemani kepada Nabenya. Ini dilakukan pada siang hari pada panglong sasih kepitu. Setelah itu pada sore harinya bersembahyang di Kamimitan yang maksudnya mempermaklumkan kepada leluhur yang telah suci bahwa yang bersangkutan melaksanakan brata Siwaratri dan memohon agar leluhurnya memberikan tuntunan batin untuk mencapai tujuan.

Pada waktu mulai memasuki malam hari, pemujaan dilakukan dengan puja Argha dan Pasanglingga didahului dengan Suryasewana dan Pujaparikrama. Pemujaan yang demikian itu dalakukan tiga kali yaitu: mulai memasuki hari malam, pada tengah malam, dan menjelang pagi besoknya.

Persembahyangan dipusatkan pada Dewa Ciwamahadewa sebagai manifestasi Hyang Widhi yang paling sempurna yang diproyeksikan atau dipratistanakan kedalamlingga yang dibuat itu. Sarana yang dipakai dalam menyembah Siwalingga adalah semining maha ( kedapan daun bila ) dan bunga

kuning. Maksud persembahyangan itu adalah memohon kehadapan Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya Siwamahadewa untuk melebur dosa dan papa neraka Siajamana (yang malakukan brata Siwaratri itu). Di dalam sembahyang itu pikiran dan bathin dipusatkan sepertidalam keadaan yoga semadhi, sehingga muncul suatu getaran-getaran suci pertanda kontaknya dengan Dewa Siwamahadewa. Selain persembahyangan pokok ditujukan kepada Dewa Siwamahadewa, juga sembahyang kepadaDewa Samodaya seperti Suryaradhitya, Brahma, Wisnu, Iswara, Gana dan Gangga. Ini adalah sembahyang kepadaDewa Samodaya ketika sembahynag mulai memasuki malam hari. Untuk sembahyang tengah malam, maka Dewa Samodaya yang disembah adalah: Suryaradhitya, Brahma, Wisnu, Iswara dan Giriputri. Untuk sembahyang pagi-pagi buta besok paginya Dewa Samodaya disembah adalahSuryaradhitya, Brahma, Wisnu, Iswara dan Kumara.

Selesai sembahyang dilanjutkan dengan matirtha kakuluh yang dimohon kehadapan Dewa Siwamahadewa.Sesudah selesai sembahyang fase pertama dan juga setelahnunas tirtha kakuluh, lalu daun bila itu tadi diambil dan dijatuhkan kedalam sangku berisi air, dan cara menjatuhkannya adalah satu-persatu sampai habis 108 lembar disertai dengan padang lepas (dukut droman) dan bunga-bunga yang berwarna warni.

Besok paginya setelah selesai sembahyang danmatirtha kakuluh lalu nyurud dan yang boleh dimakan adalahkorok nasi wilet yang disajikan itu hanya diisi garam dan boleh minum air putih sampai nanti hari telah malam kembali (ini bagi yang melakukan brata Upawasa) barulah selesai brata Siwaratri itu. Ini adalah tatacara seluruh tingkatan upacara Siwaratri. Yang berbeda adalah jenis upakaranya yang dipakai dan brata yang dijalaninya.

B. Upacara Siwaratri untuk Walaka

UPAKARA

a. Utama.            Banten di Sanggar Surya adalah: catur, dandanan, banten gana, daksina, sarwa pat, suci, peras kelanan, danbanten sumur. Banten dihadapan sembahyang adalah:banten pelinggih (daksina tapakan), dandanan, bubur putih, bubur barak, bubur wilis winoran kotak hijo, pulogan, bali, sesayut, pengambian, peras, prayascita, lis, pengeresikan.Selain itu

dibuat lingga berisi prerahi emas diletakkan di atas daun pisang emas berisi rerajahan padmasana ring sor danrerajahan padma nglayang ring luhur, berisi daun cemara, daun suala, daun kalovi, daun bila 108 lembar, bunga-bungaan yaitu: widuri putih, putat, angsoka, sari tangguli, tunjung, cempaka, tunjung biru, tunjung bang, tunjung putih, sulasih merah, padang lepas dan wangi-wangian. Banten di Kamimitan adalah pejati asoroh, banten ring sor adalah caru ayam brumbun, biakala dan gelar sanga.

b. Madhya          Banten di Sanggar Surya adalah: daksina sarwapat, dewa-dewi, peras suci, kelanan. Banten dihadapan sembahyang adalah :  sesayut, pengambian, prayascita, pengeresikan dan tumpeng ayaban, saka bwatan. Dibuatkanlingga dengan prerahi kayu cendana beralaskan daun pisang kayu, bunga-bungaan seperti tersebut tadi, padang lepas, daun bila 108 lembar dan wangi-wangan. Banten di Kamimitan adalah pejati asoroh. Banten ring sor adalah biakala dan segehan agung.

c. Nistha              Banten di Sanggah Surya adalah pejati asoroh. Di hadapan sembahyang, banten: sesayut, pengambian, prayascita. Dibuatkan lingga dengan bunga widuri putih dialasi daun pisang kayu, bunga-bungaan berwarna, padang lepas, daun bila 108 lembar dan wangi-wangian. Banten diKamimitan adalah canang, daksina. Banten ring sor adalahsorohan nasi cacahan.

BRATA

a. Uttama            Upakaranya lengkap seperti tersebut di atas tadi. Melakukan monebrata, upawasa, jagra selama 36 jam, mulai dari matahari terbit pada hari panglong 14 sasih kepitusampai matahari terbenam pada tilem sasih kepitu.

b. Madhya          Upakaranya lengkap seperti tersebut dieatas. Tidak melakukan monobrata, tetapi melakukan upawasa dan jagraselama 36 jam seperti di atas tadi. Untuk menghilangkan ngantuk, bisa dihibur dengan mambaca sastra agama, Itihasa atau Wiracarita.

c. Nistha              Upakaranya boleh tidak lengkap atau dikurangi dari yang semestinya. Tidak melakukan monebrata danupawasa, tetapi hanya melakukan jagra selama 36 jam seperti tersebut di atas. Untuk menghilangkan ngantuk boleh berjalan-jalan ketempat-tempat suci atau membaca sastra agama, Itihasa atapun Wiacarita.

Tatacara Pelaksanaannya

Terlebih dahulu pada pagi hari panglong 14 sasih kepitu, melakukan suci laksana atau pengeningan pikiran. Sore harinya melakukan persembahyangan kepada Surya Radhitya maksudnya mempermaklumkan dan mohon agar beliau menyaksikan pelaksanaan Brata Siwaratri yang dilakukan. Setelah itu bersembahyang di Kamimitanmaksudnya mempermaklumkan dan memohon tuntunan bathin agar sukses dalam melakukan Brata Siwaratri.

Setelah hari mulai malam, maka mulai melakukan persembahyangan dipusatkan kepada Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Siwamahadewa yang dipratistanakankedalam lingga itu. Selain itu juga persembahynag ditujukan kepada Dewa Samodaya yaitu: Surya Radhitya, Brahma, Wisnu, Iswara, Gana, dan Gangga.

Persembahyangan fase kedua yaitu tengah malam, juga dipusatkan kepada Dewa Siwamahadewa serta pula Dewa Samodaya yaitu : Surya Radhitya, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Giriputri.

Persembahyangan fase ketiga yaitu : pagi-pagi buta besoknya juga dipusatkan kepada Dewa Siwamahadewa serta Dewa Samodaya yaitu : Surya Radhitya, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Kumara.
Setiap selesai sembahyang diikuti dengan metirtha pakuluh yang dimohonkan kepada Dewa Siwamahadewa.

Untuk persembayangan fase pertama setelah selesai sembahyang serta telah matirtha kakuluh, lalu daun bila tadi diambil dan dijatuhkan kedalam sangku berisi air dan cara menjatuhkannya itu adalah satu persatu sampai habis 108 lembar disertai pula padang dreman (padang lepas) dan bunga-bungan yang beraneka warna.

Besok paginya setelah selesai sembahyang dan matirtha kakuluh, dilanjutkan dengan nyurud (yadnya sesa) dan yang boleh dimakan hanyalah kerak nasi wilet yang disajikan. itu hanya berisis garam dan boleh minum air putih, sampai hari telah malam kembali (ini bagi yang melakukan upawasa). Dengan demikian selesailah sudah tatacara pelaksanaan Siwaratri itu. Ini berlaku untuk semua tingkatan upacara Siwaratri, yang berbeda adalah jenis upakara yang dipakai dan brata yang dijalani.

Mengenai tatacara dan sarana yang dipakai dalam melaksanakan Brata Siwaratri, ada pula disebutkan dalam Kekawin Siwaratrikalpa sarga 36 dan 37, namun tidak selengkap seperti yang disebutkan dalam pustaka Siwaratri Brata. Di dalam Kekawin Ciwaratrikalpa tidak disebutkan bantennya dan tidak disebutkan mantra dan stawa yang dipakai, sedangkan dalam pustaka Siwaratri Brata disebutkan hal itu.

3. KASUKSEMAN (FALSAFAH) SIWARATRI

Pada bagian ini saya coba mengemukakan Kesuksmaan Siwaratri yang sudah tentu berdasarkan analisis yang saya lakukan sendiri. Dalam hubungan ini saya teringat dalam makalah yang dibawakan oleh Bapak I Made Japa dalam sarasehan bahasa daerah pada tanggal 1 Januari 1981 di Denpasar yang memberikan pembahasan terhadap Kekawin Lubdhaka ditinjau dari segi kesuksmaan atau falsafah, namun dalam banyak hal berbeda dengan apa yang saya kemukakan di sini.

Sebagai kajian saya menggunakan naskah Kekawin Siwaratrikalpa dan Pustaka Siwaratri Brata yang bersifat tutur. Kekawin Siwaratrikalpa terdiri dari 39 sarga, sampai sarga yang terakhir merupakan colophon, dan pada colophon itulah kita jumpai nama Kekawin Siwaratrikalpa yang digubah oleh Empu Tanakung sekitar tahun 1466-1478 pada masa pemerintahan Sri Adi Suraprabhawa di Jawa Timur.

Untuk bahan analisis, maka di sini saya sajikan Ceritra Lubdhaka dalam Kekawin Siwaratrikalpa sebagai berikut :

“Diceritakan seorang pemburu bernama Lubdhaka. Mereka sekeluarga tinggal di puncak gunung yang indah. Pekerjaan si Lubdhaka setiap hari adalah berburu binatang kehutan membunuh harimau, babi hutan, gajah, dan badak serta semua binatang diburunya. Pada suatu hari yaitu pada hari Panglong ke 14 sasih Kepitu (hari ke 14 bulan mati pada bulan ketujuh), pagi-pagi hari ia sudah meninggalkan rumahnya untuk berburu. Sudah sehari penuh ia menyelusuri hutan rimba dan lembah-lembah, ia tidak memperoleh seekorpun binatang buruan. Ketika itu si Lubdhaka sudah jauh dari rumahnya dan haripun sudah menjelang malam. Untuk kembali pulang itu tidak mungkin ia lakukan, karena hari sudah mulai gelap dan takut disergap binatang buas. Lalu ia menuju kesuatu telaga dan di tepi telaga itulah ia berhenti sambil menunggu kalau-kalau ada binatang yang datang ketelaga itu untuk meminum air. Karena hari sudah gelap, si Lubdhaka takut untuk tinggal di bawah,

lalu ia naik memanjat pohon kayu bila yang ada di pinggir telaga yang dahannya menjulur ke atas telaga itu. Di dahan itulah ia duduk. Tidur di atas pohon itu juga ia tidak berani, takut kalau jatuh. Untuk menghilangkan kantuknya, maka dipetiknyalah daun bila itu dan dijatuhkan ke dalam telaga.
Tidak diduga di dalam air telaga itu ada sebuah lingga yang muncul dengan sendirinya. Lingga itu adalah lingganya Dewa Siwa atau perwujudan lambang Siwa. Kebetulan pada malam itu adalah malam yang baik untuk melakukan pemujaan terhadap Dewa Siwa. Pekerjaan memetik daun bila itu semalam penuh sampai pagi besoknya, sehingga ia melek semalam suntuk.

Keesokan harinya si Lubdhaka pulang dengan tangan hampa, karena tidak seekorpun memperoleh binatang buruan. Sesampainya di rumah ia disambut oleh anak dan istrinya.

Hari-hari berikutnya kembalilah ia melakukan pekerjaannya seperti biasa yaitu berburu binatang kehutan.  Demikianlah pekerjaan ia sehari-hari berburu binatang untuk penghidupannya.

Pada suwaktu ketika, si Lubdhaka jatuh sakit. Sakitnya makin menjadi-jadi dan akhirnya ia menemui ajalnya. Setelah ia mati maka atmanya mangalami kebingungan dan kegelapan karena semasa hidupnya pekerjaannya senantiasa membunuh binatang. Dewa Siwa mengetahui hal itu dan mengenal pemburu itu karena dahulu pernah memujanya ketika di hutan pada malam Siwa. Dewa Siwa mengutus abdinya (Watek Gana) menyambut atma si Lubdhaka untuk dibawa ke Siwaloka. Saat itu datang pula laskar Dewa Yamadipati sebagai penguasa neraka. Setelah didahului dengan perselisihan, maka terjadilah peperangan memperebutkan atma si Lubdhaka. Dalam peperangan itu laskar Dewa Siwa menang dan atma si Lubdhaka dibawa keSiwaloka (Sorga) diberikan tempat yang baik.

Dewa Yamadipati memprotes karena merasa kurang adil atas tindakan Dewa Siwa itu. Lalu beliau menghadap Dewa Siwa dan menuntut agar atma si Lubdhka dibawa ke Neraka karena perbuatan semasa hidupnya selalu membunuh binatang. Dewa Siwa menjelaskan masalahnya, bahwa si Lubdhaka itu pernah memujanya pada malam hari tepat malam Dewa Siwa. Oleh karena itulah ia mendapat pahala masuk Surga.

Hikmah apakah yang dapat kita ambil dari ceritra di atas ?Ceritra di atas sudah tentu mitologi, tetapi mempunyai tendensi tertentu dan mendalam. Apabila tidak dikupas dan dicari hakekatnya, maka kita akan mendapat gambaran bahwa karena telah memuja Dewa Siwa semalam suntuk pada hari panglong 14 sasih kepitu orang akan masuk Surga. Alangkah bahagianya mendapat surga dan alangkah gampangnya mendapat surga ? Bagaimana halnya dengan hukum karma?.

Dalam pendekatan filosofis ini, ada beberapa hal yang terlebih dahulu perlu mendapat perhatian. Menurut hemat saya, bahwa seorang Rakawi mengubah suatu karya sastra adalah mempunyai tujuan tertentu. Mereka memandang perlu suatu pengetahuan atau suatu hal penting untuk disebarluaskan kepada khalayak agar dihayati dan dalam hal-hal tertentu dilaksanakan.

Pengubahan karya sastra atau kekawin, dilandasi oleh konsep dasar yang dikembangkan dalam bentuk seni sastra dan dikaitkan dengan sesuatu cerita, ada dikaitkan dengan epos Ramayana atau Mahabarata, dan ada pula yang dikaitkan dengan Purana atau ajaran agama. Ada juga karya sastra yang tidak mengkaitkannya dengan suatu ceritra, melainkan langsung menguraikan konsep dasar widya negara, kekawin Arjuna Wiwaha menonjolkan konsep dasar filsafat Wedanta dan Yoga, kekawin Baratayudha menonjolkan konsep dasar ksatria, kekawin Sutasoma menonjolkan konsep dasar Buddha Mahayana yang telah sinkritis dengan Siwaisme, kekawin Nirarthaprakerta menonjolkan konsep dasar filsafat Samkhya.


Demikian pula kekawin Lubdhaka menonjolkan konsep dasar Yoga. Dalam pengertian Yoga juga terdapat brata. Maka itulah kekawin ini bernama Siwaratrikalpa yang berarti brata yang dilakukan pada hari malamnya Dewa Siwa. Di dalam colophon kekawin itu disebutkan:

“Nahan hingan iking kathakhya Siwaratrikalpa…………..

Filsafat Yoga mengajarkan filsafat ajarannya kepadaSamkhya. Kalau filsafat Samkhya terdiri dari 25 Tattwas, maka Yoga menambah satu Tattwas lagi yang itu Iswara,sehingga menjadi 26 Tattwas. Maka itulah Yoga sering dirangkaikan dengan Samkhya, sehingga disebut Samkhya Yoga, sedangkan Samkhya saja disebut Nir Iswara Samkhya. Di Indonesia (Bali), Samkhya Yoga disebut Siwatattwa atau hakekat ajaran Siwa. Di sinilah kita melihat implikasi filsafat Hindu dengan Agama Hindu, sehingga Agama Hindu dikaitkan dengan agama yang filosofis, bukan agama yang theologis.

Masalah lain yang perlu mendapat perhatian dalam mengadakan pendekatan filosofis terhadap suatu karya sastra adalah adanya beberapa simbolisasi tendensius di dalam karya sastra itu sendiri. Untuk menemukan simbolisasi itu diperlukan analisis yang tajam dan kadang-kadang tidak harus terpaku pada aturan sastra.

Atas dasar itu tadi, maka saya berusaha menemukan simbolisasi yang terkandung dalam kekawin Siwaratrikalpadan sekaligus berusaha menemukan hakekat pada brata Siwaratri itu sendiri. Namun apa-apa yang saya kemukakan di sini adalah suatu usaha maksimal yang kebenarannya perlu dipergunjingkan di dalam pertemuan ini.

Kata Lubdhaka (Sansekerit) berarti pemburu. Pemburu adalah orang yang selalu mengejar dan mencari sesuatu. Yang diburunya adalah binatang. Nama lain dari binatang adalah sattwa. Kata sattwa berasal dari kata sat yang berarti ini yang mulia atau hakekat. Kata twa berarti sifat. Jadisattwa berarti bersifat ini atau bersifat hakekat. Dengan demikian yang bernama Lubdhaka itu adalah pelukisan orang yang selalu mengejar atau mencari inti hakekat yang mulia.

Apakah inti hakekat dalam kehidupan ini ?. Untuk apa kita hidup ini ?. Arti dari pada hidup ini adalah memperoleh kesempatan berkarma yang baik untuk menebus karma yang tidak baik dimasa kehidupan-kehidupan yang lampau. Apabila Subhakarma kita beri nilai plus dan Asubhakarma kita beri nilai min, maka nilai min diimbangi dengan nilai plus supaya tercapai keseimbangan. Subha-Asubhakarma yang seimbang kita beri nilai nol. Pada waktu mencapai nilai nol inilah atma terlepas dari hukum karma dan karenanya atma terlepas pula dari lingkaran punarbhawa, sehingga mencapai moksa. Inilah arti hakekat kehidupan ini. Dengan lain perkataan, tujuan hidup ini adalah tidak hidup lagi dalam artian punarbhawa.

Si Lubdhaka dikatakan bertempat tinggal di puncak gunung yang indah (………..sthiyangheri puncak nikang acala cabhyatyanta ramyalanga……..). di dalam bahasa sansekerta, gunung itu disebut acala yang artinya tidak bergerak. Gunung juga disebut lingga-acala artinya lingga yang tidak bergerak atau tetap. Maka itulah menurut pandangan Hindu, para dewa dipuja dipuncak gunung. Dewa Siwa sendiri dipuja di puncak gunung Kaliasa. Bukankah pendirian pura besakih berdasarkan konsepsi ini?. Si Lubdhaka bertempat tinggal di puncak gunung, adalah melukiskan orang yang taat dan tekun memuja Dewa Siwa (Siwa-lingga) sebagai manifestasi Hyang Widhi yang paling utama dan sekaligus pula melukiskan sebagai seorang yogi (Samkhya Yoga disebut Siwatattwa).

Si Lubdhaka dikatakan pekerjaanya memating mong, wok gaja mwang wara. Memati berasal dari kata pati. Kata pati ada yang berarti air, ada pula berarti penguasa. Contoh : tambanya ruaning rangda lumaka pipis not patinye (obatnya: daun beluntas diremas ambil airnya.)

contoh yang kedua:kepanggih irikang tegal milu rikarya sang bhupatti(dijumpainya di tegal ) kuru (lalu) ikut serta menemani perjalanan penguasa bumi (raja).

Di dalam bahasa Jawa Kuna, nama lain dari mong adalah wiagra. Apabila kata wiagra ini kita uraikan, maka kita akan memperolah kata wi yang artinya jauh, utama dan kata agrayang berarti puncak. Wiagra berarti puncak yang jauh, puncak yang tertinggi atau puncak yang uttama. Apakah puncak yang uttama adalah yoga ?. Dalam Yoga-Kundalinidisebutkan bahwa apabila seorang yogi mendapat tingkatan yang tetinggi, maka sama karmanya terbakar habis dan ia mencapai kebebasan dari punarbhawa. Inipun yang serupa juga kita baca dalam pustaka Wrasphati tatwa 74, yang mengatakan sebagai berikut :

“Yapwan tiksna samadri nira sang yogiswara geseng pwokeng tattwa I sor ning pradhana tattwa ketaken ing triguna tattwa” artinya : Apabila samadhinya Sang Yogiswara telah mencapai puncaknya, maka terbakarlah tattwa yang tingkatannya di bawah pradhana tattwa sampai kepada tri guna tattwa (maksudnya Sang Yogiswaratelah menembus rintangan-rintangan ikatan prakertiuntuk mencapai kebebasan dari punarbhawa).

Selanjutnya mengenai wok. Di dalam kekawin Arjuna Wiwaha, kata wok itu disamakan dengan kata waraha yang secara harpiah berarti babi hutan. Kata waraha dapat pula kita pandang berasal dari kata warah yang mendapat akhirana yang artinya anugrah atau pawisik atau wahyu.  Katawaraha juga bisa berubah menjadi waraha lalu menjadi wara, karena fonim h bisa hilang atau tidak diucapkan seperti pada kata kerthawara yang artinya anugrah yang baik.

Mengenai gaja. Kata gaja atau gajah adalah kata dalam bahasa sansekerta. Gaja lain katanya hasti. Terhadap katahasti ini diperlukan aturan bahasa Jawa Tengahan yaitu apa yang disebut dengan istilah dwiwasana. Maka dari itu katahasti lalu di-dwiwasanakan menjadi hastiti yang artinya senantiasa berbakti kepada Hyang Widhi sebagai realisasi dariBhakti Marga. Perubahan kata hasti itu adalah memungkinkan kalau kita melihat di dalam kekawinBarathayudha ada disebutkan kata hastina yang artinyagajahoya.

Mengenai kata warak, kita tidak bisa menganalisis dari etimologi dan sinonim. Kalau kita ingat bahwa binatang warakatau badak itu adalah binatang yang digolongkan suci dalam upakara yadnya Agama Hindu, maka analisis kita adalah dari segi ini. Air gesekan gerahamnya badak (asaban baham warak) diperlukan dalam jenis upakara tertentu sebagai unsur penting. Demikian pula darah badak diperlukan bagi jenis upakara tertentu . badak adalah binatang suci, makanannya adalah daun-daunan. Dengan demikian dapatlah diambil simbolisasi bahwa badak melambangkan kesucian.

Memating mong, gaja mwang warak, berarti telah menguasai atau mendapatkan puncak yoga atau semadhi, telah mendapatkan anugrah Hyang Widhi karena tekun astiti baktikepada Hyang Widhi dengan kesucian bathin. Inilah makna yang terkandung di dalamnya.

Di dalam cerita si Lubdhaka dikatakan naik ke dahan pohon bila (irika tikang nisada mamenek pang ing maja…….). Apa yang dimaksudkan?. Walaupun di dalam teks tidak tedapatkata puhun (pohon), namun yang dimaksudkan denganmemenek bang ing maja adalah naik dahan pohon bila. Di dalam Pustaka Tutur Suksma kita jumpai istilah kebatinan seperti: gulupuhun, kredhadesa, tampaking

kuntul hanglayang, keris manjing urangka, galihing kangkung dsb. Secara kebatinan yang dimaksudkan gulupuhun adalah ibu jari kaki. Puhun dalam bahasa Jawa Kuna atau dalam bahasa Bali berarti pohon. Gulupuhun yang secara kebatinan berarti ibu jari kaki, dapat pula dimaksudkan sebagai titik tumpu untuk berdiri atau dengan kata lain adalah pangkal pendirian. Kalau kata pohon kita ganti dengan kata wit dalam teks kita sisipkan kata itu hingga menjadi kalimat yang berbunyi “……………memenek pang ing wit maja………….” (kalimat yang sempurna dari pada”…………memenek pang ing maja…………”), maka kata wit itu berarti pula pangkal atau asal. Kata majaatau wilya yang kemudian berubah menjadi bila, ini bisa dianalisis dari hukum perubahan bunyi dalam kata-kata Bahasa Indonesia. Kata bila dapat berubah menjadi wilamengikuti hukum PBW dan RDL yang berarti: perwira, teguh hati, tekun. Dengan analisis ini, maka naik pohon bila itu mengandung arti simbolik yang menggambarkan bahwa ia adalah bertumpu pada atau berpangkal telak dari keteguhan hati atau ketekunan.

Selanjutnya diceritakan si Lubdhaka memetik-metik daun bila dijatuhkan kedalam telaga yang secara tiba-tiba muncul lingga di dalam telaga itu dan daun bila yang dijatuhkannya mengenai lingga itu. (di dalam kekawin tidak disebutkan jumlah daun bila yang dipetik, tetapi dalam pustaka Siwaratribrata disebutkan sejumlah 108 lembar. Kata don berarti tujuan atau dapat pula berarti perbuatan. (………..ia ngandong kema……… ia sengaja berbuat sesuatu kesana). Memetik-metik daun mengandung arti simbolik, bahwa ia menghitung-hitung perbuatan yang telah dilakukanya (subha-asubhakarma).

Apabila angka 108 itu dijumlahkan menjadilah ia angka 9, angkan 9 adalah angka yang tebesar. Ini merupakan simbolik dari pada perbuatan si Lubdhaka yag didasari oleh keteguhan hati atau ketekunan memuja Dewa Siwa adalah telah mencapai puncaknya.

Atas dasar analisis-analisis itu tadi, maka kita peroleh gambaran bahwa cerita Lubdhaka itu adalah simbolik dari seorang yogi yang tekun memuja Dewa Siwa sebagai manifestasi Hyang Widhi yang paling utama. Ia senantiasa mengejar hakekat yang mulia dan telah mendapatkan puncak yang tertinggi dalam yoga yaitu semadhi, telah mendapat anugrah atau wahyu kesucian dari Hyang Widhi, karena tekun serta teguh hati astiti bakti kehadapan Hyang Widhi yang dilandasi oleh batin yang suci. Ia senantiasa menghitung-hitung subha-asubhakarma yang dilakukan dan senantiasa melakukan subhakarma untuk menebus karmawasana yang digolongkan asubhakarma dimana kehidupannya dahulu sampai keduanya menjadi balance/sama.

Yogi yang demikian itu senantiasa melakukan “Siwa bhakti gineng lana ginawe”. Dewa Siwa selalu rumaketing citta, selalu menjadi titik sentrum dalam memujanya dan dalamyoganya. Wah……..betapa sulitnya menghubungkan diri (yuj) dengan Dewa Siwa. Sebagai suatu ilustrasi saya kutipkan suatu bait dari Puja Homa, sebagai berikut:

“Agni madhya Ravi Saiva
Ravi madhyastu Candramah
Candra madhya bhave Shuknah
Sukla madhya sthitah Sivah”.

Artinya:

Di dalam api adalah matahari
Di dalam matahari adalah bulan
Di dalam bulan adalah suci hening
Di dalam suci hening itulah Dewa Siwa berada.

Pada malam hari panglong 14 sasih kepitu, Dewa Siwamenurunkan ajaran yang bernama “Brata Siwaratri” yang memberikan pahala yang mulia. Di dalam sarga 34.4 kekawin Siwaratrikalpa disebutkan sebagai berikut:

“Thun kalewih ing bratenajarakon
mami niyate maweh phaladhika.
Tuwin milagaken saduskrta teher
masung aticaya bhoga bhagya len.
Awin tun angusir yamandha phalaning
jana gumayaken tikang brata
Sapapaka nika cirna den I phalaning
brata winuwusakenku, tan salah……….”.

Artinya:

Sungguh kemuliaan brata yang Aku ajarkan
dengan jelas memberikan pahala yang utama
Juga menghilangkan semua perbuatan yang tidak
baik lalu memberikan kebahagiaan dan
kesejahteraan yang menakjubkan

Hal itu tidak akan menuju yamaloka (neraka)
akibat atau hasil yang melakukan brata itu
Semua nerakanya lenyap dikarenakan oleh pahala
dari brata yang Aku ajarkan, (tidak masalah).

Brata Siwaratajani adalah suatu bentuk yoga. Yoga ada bermacam-macam seperti: Yogakundalini, Yoganidra, Yogasana dan lain-lainnya. Prinsip yoga adalah suatu cara untuk menghubungkan diri dengan Hyang Widhi. Pada malam hari panglong 14 sasih kepitu itu seorang Yogi yang telah sering melakukan yoga mendapatkan titik kulminasi dariyoganya yaitu semadhi. Semadhi berarti berkumpul atau atatu kontak dengan yang maha mulia. Sesuai dengan keterangan dalam pustaka Whraspati Tattwa di atas, maka bagi mereka yang telah mencapai semadhi, segala papa nerakanya terbakar, dibakar oleh panasnya api gaib (bahaimaya) sebagai akibat dari matangnya yoga. Oleh karena papa neraka itu adalah akibat atau pahala dari dosa, maka hal itu juga berarti terleburnya dosa yang telah diperbuat.

Semadhi itu tidak lama, hanya satu atau dua detik saja, laluatma kembali memasuki sarira. Atama yang kembali memasuki sarira seperti itu diistilahkan dengan keris manjing urangka. Apabila dalam keadaan semadhi atma tidak kembali memasuki sarira inilah yang disebut jalan mati yang benar seperti dibentangkan di dalam pustaka tutur kamoksan.

Semadhi dapat mencapai beberapa kali dalam yoga. Walaupun demikian, namun tidak setiap melakukan yogaakan dapat mencapai semadhi. Pengalaman pribadi menunjukan, bahwa semadhi itu sulit dicapai tetapi bisa dicapai karena…….Bhatara Ciwa tan keneng inangen-angen, apan sira wapaka……..

Menurut hemat saya, inilah hakekat Siwaratrikalpa ditinjau dari segi kesuksmaan yang kita laksanakan setiap hari panglong 14 sasih kepitu, memberikan hikmah yang tertinggi bagi cita-cita kehidupan umat Hindu. Oleh karenanya patutlah Siwaratri itu kita rayakan secara spesipik dengan brata Siwaratri.