Agama Hindu (Bahasa
Sanskerta: Sanātana Dharma सनातन धर्म "Kebenaran Abadi"), dan
Vaidika-Dharma ("Pengetahuan Kebenaran"). kata Hindu berakar dari
kata Sindhu. Dalam Reg Weda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta
Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah
satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata
Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta (Vendidad: Fargard 1.18) — sastra
suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada
masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu.
Kata "agama" yang
dipergunakan oleh umat Hindu dalam hidup berketuhanan Yang Maha Esa berasal
dari bahasa Sanskerta dari akar kata "gam" yang artinya
"pergi" atau "perjalanan". Urat kata "gam" ini
mendapat prefix "a" yang berarti "tidak" dan tambahan
"a" di belakang yang berarti "sesuatu" atau dapat berfungsi
sebagai suffix dalam bahasa Sanskerta guna mengubah kata kerja menjadi kata
sifat. Dengan demikian kata agama diartikan "sesuatu yang tidak
pergi", tidak berubah atau tetap, langgeng (abadi). Yang tidak pernah
berubah- ubah atau kekal abadi itu hanyalah Tuhan beserta ajarannya. Sebagai
suatu istilah kemudian kata agama mengandung suatu pengertian aturan- aturan
atau ajaran- ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi
Wasa) diturunkan berupa wahyu (Sruti) melalui para Nabi (Maha Resi) untuk
mengatur alam semesta beserta isinya baik dalam kehidupan rohaniah maupun dalam
kehidupan jasmaniah.
DHARMA
Kata "Dharma" berasal dari
bahasa Sanskerta dari akar kata "dhr" (baca: dri) yang artinya
menjinjing, memangku, memelihara, mengatur, atau menuntun. Akar kata
"dhr" ini kemudian berkembang menjadi kata dharma yang mengandung
arti hukum yang mengatur dan memelihara alam semesta beserta segala isinya.
Dalam hubungan dengan peredaran alam semesta, kata dharma dapat pula berarti
kodrat. Sedangkan dalam kehidupan manusia, dharma dapat berarti ajaran,
kewajiban atau peraturan- peraturan suci yang memelihara dan menuntun manusia
untuk mencapai kesempurnaan hidup yaitu tingkah laku dan budi pekerti yang
luhur.
Pustaka Smrti Santi Parwa 109.11:
Dharanad dharma ityahur
Dharmena widrtah prajah
Artinya: Kata dharma dikatakan datang
dari kata Dharana (yang berarti memangku, menjunjung, atau mengatur). Dengan
dharma semua makhluk diatur
Istilah Hindu yang dipergunakan
sekarang sebagai nama agama pada umumnya tidak dikenal pada jaman klasik.
Beratus- ratus tahun sebelum tahun masehi, penganut ajaran kitab suci Weda
tumbuh subur dan berkembang pesat dalam masyarakat, sehingga para ahli menyebutkannya
dengan nama agama Weda atau Jaman Weda.
Kemudian Hindu dipakai nama dengan
mengambil nama tempat di mana agama itu mulai berkembang, yakni di sekitar
sungai Sindu atau Indus. Kata Sindu inilah yang kemudian berubah menjadi kata
Hindu karena terkena pengaruh hukum metathesis dalam bahasa Sanskerta di mana
penggunaan huruf "s" dan "h" dapat ditukar- tukar, misalnya
kata "Soma" dapat menjadi kata Homa, kata "Satima" dapat
menjadi Hatima, dan sebagainya.
Kata Hindu atau Sindu dalam bahasa Sanskerta adalah tergolong kata benda masculine, yang berarti titik- titik air, sungai, laut, atau samudra. Air melambangkan Amrita yang diartikan air kehidupan yang kekal abadi, dipergunakan dalam upacara- upacara agama Hindu dalam bentuk tirtha (air suci).
Kata Hindu atau Sindu dalam bahasa Sanskerta adalah tergolong kata benda masculine, yang berarti titik- titik air, sungai, laut, atau samudra. Air melambangkan Amrita yang diartikan air kehidupan yang kekal abadi, dipergunakan dalam upacara- upacara agama Hindu dalam bentuk tirtha (air suci).
Istilah agama dengan istilah dharma mempunyai pengertian yang sulit dibedakan, maka dalam kaitannya dengan nama agama Hindu biasa juga disebut Hindu Dharma, bahkan di India lebih umum nama ini dipakai.
Tujuan
Agama Hindu
MOKSARTHAM
JAGADHITA YA CA ITI DHARMAH Jadi secara garis besar tujuan agama Hindu
adalah untuk mengantarkan umatnya dalam mencapai kesejahteraan hidup di dunia
ini maupun mencapai moksa yaitu kebahagiaan di akhirat kelak. Di dalam kitab
suci Weda dijelaskan tujuan agama sebagai tercantum dalam sloka
"Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharmah" yang artinya bahwa tujuan
agama atau dharma adalah untuk mencapai jagadhita dan moksa, dengan kata lain
bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan
kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin.
Moksa
juga disebut Mukti
artinya mencapai kebebasan jiwatman atau juga disebut mencapai kebahagiaan
rohani yang langgeng di akhirat. Jagadhita juga disebut bhukti yaitu kemakmuran
dan kebahagiaan setiap orang, masyarakat, maupun negara.
Salam
Agama Hindu
Untuk membina hubungan yang harmonis
dan mempererat rasa persaudaraan dalam pergaulan di masyarakat, agama Hindu
mengajarkan salam persaudaraan (panganjali) dengan ucapan "Om
Swastiastu". Salam ini dapat juga dipergunakan dalam memulai dan
mengakhiri suatu kegiatan. Khusus dalam mengakhiri sesuatu kegiatan dapat juga
memakai "OM SANTI, SANTI, SANTI, OM" yang artinya semoga damai.
Pada waktu mengucapkan salam, kedua tangan dicakupkan di depan dada dengan ujung jari mengarah ke atas, tetapi kalau keadaan tidak memungkinkan, sikap ini boleh tidak dilakukan. Yang menerima salam seyogyanya memberikan jawaban dengan ucapan "Om Swastiastu" dengan sikap yang sama pula.
"Om" artinya Tuhan, "Su" artinya baik, "Asti" artinya ada dan "Astu" artinya semoga, jadi keseluruhannya berarti SEMOGA SELAMAT ATAS RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Dengan demikian maka pada setiap kegiatan telah dilaksanakan saling doa mendoakan satu sama lain.
Namaste berasal dari 2 kata
"Namah" yang artinya menunduk, hormat; dan "Te" yang
artinya padamu, merupakan cara yang lazim digunakan untuk menyapa atau memberi
salam di Asia Selatan. Namaste digunakan oleh multi-agama dan lebih ditekankan
pada representasi arti dari "Saya Menghormati Anda". Ketika berbicara
dengan orang lain, biasanya diikuti oleh gerakan mencakupkan kedua tangan di
depan dada.
Filosofi Namaste bagi saya pribadi lebih ke arah sifat diri yang rendah hati. Sebuah ungkapan yang dengan sangat elegan memberi penghormatan kepada siapa saja tanpa memandang atribut orang tersebut, apakah dia kaya, miskin, rupawan, buruk, terhormat, hina, sehat, sakit, dsb. Mendalami filosofi Namaste, mengajarkan saya untuk lebih mencintai semua ciptaan Tuhan. Tak akan ada niat untuk menindas, membunuh, menfitnah, mencaci-maki, ataupun sekedar menggosipkan orang lain di belakang. Tindakan-tindakan tersebut sangat melukai rasa penghormatan saya kepada sesama. Dan otomatis mencederai rasa bakti kepada Tuhan yang saya sembah.
Menghormati orang lain sama dengan menghormati diri sendiri. Karena sejatinya, di dalam diri saya dan orang lain memiliki satu kesamaan yang agung. Yang Agung inilah yang disebut dengan "Jiwa". Dan Jiwa inilah "cahaya" Tuhan yang paling kecil yang berada di dalam diri kita yang harus kita berikan penghormatan tertinggi. Namaste…!
Lambang
Agama Hindu
Lambang atau simbul dalam keagamaan
merupakan sarana pengikat keyakinan umatnya untuk lebih mendekatkan hati dan
perasaannya kepada cita- cita hidup keagamaan, disebut juga Niyasa atau Murti
Puja. Agama Hindu mempergunakan Swastika sebagai lambang.
Adapun bentuk asli dari lambang SWASTIKA ialah dua garis vertikal dan
horisontal bersilang sama sisi, tegak lurus di tengah- tengah (+).Sebagai
kreasi seni budaya yang selalu berkembang, Swastika juga mengalami perkembangan
sehingga kemudian menjadi berbentuk :
Swastika menggambarkan keharmonisan
perputaran alam semesta dengan segala romantika, dinamika dan dialektikanya.
Hal mana pada hakekatnya menunjukkan kemahabesaran Sang Hyang Widhi Wasa selaku
Maha Pencipta. Kata Swastika berarti keselamatan atau kesejahteraan. Garis
vertikal menunjukkan keharmonisan hubungan manusia dengan pencipta- Nya yaitu
Sang Hyang Widhi Wasa, sedangkan garis horisontal menunjukkan keharmonisan
hubungan manusia dengan sesamanya, termasuk hubungan manusia dengan alam.
Apabila hubungan manusia dengan penciptanya dan hubungan manusia dengan lingkungannya terjalin dengan harmonis, maka manusia akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Keselamatan dan kesejahteraan adalah hakekat tujuan agama. Keempat garis di ujung- ujung garis vertikal dan garis horisontal menunjukkan arah perputaran Swastika, yaitu berputar ke arah kanan. Jadi Swastika juga melukiskan gerak, yaitu gerak alam semesta yang berputar ke arah kanan. Pada hakekatnya semua isi alam juga mengalami perputaran seperti angin, air, dan sebagainya, untuk menimbulkan keharmonisan di alam ini.
Kitab
Suci
Kitab suci agama Hindu disebut Weda.
Adapun kata Weda ini berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata
"Wid" berkembang menjadi kata WEDA atau WIDYA yang berarti
pengetahuan. Sebagai kitab suci kata Weda mengandung pengertian himpunan ilmu
pengetahuan suci yang bersumber dari Sang Hyang Widhi Wasa diterima atau
didengar oleh para Maha Resi dalam keadaan samadhi. Oleh karena itu disebut
juga Sruti yang berarti Sabda suci yang didengar (wahyu). Jadi Weda merupakan
himpunan wahyu- wahyu Tuhan.
Weda Sruti yaitu Weda dalam bentuk
himpunan wahyu (Sruti), disebut juga Weda Samhita terdiri dari:
Kelompok Catur Weda:
Rig Weda, Dihimpun oleh Maha Resi
Pulaha
Yajur Weda, Dihimpun oleh Maha Resi
Waisampayana
Sama Weda, Dihimpun oleh Maha Resi
Jaimini
Atharwa Weda, Dihimpun oleh Maha Resi
Sumantu
Pancamo Weda:
Bhagavad-Gita, Dihimpun oleh Maha Resi Byasa.
Weda Smrti yaitu tafsir dari Weda
Sruti, disusun dengan maksud mempermudah mempelajarinya, terdiri dari dua
kelompok yaitu:
Kelompok Wedangga
Siksa, Isinya tentang ilmu tentang
phonetics
Wyakarana, Isinya tentang ilmu tata
bahasa
Chanda, Isinya tentang pengetahuan
tentang lagu
Nirukta, Isinya tentang pengetahuan
tentang sinonim dan akronim
Jyotisa, Isinya tentang ilmu astronomi
Kalpa, Isinya tentang tentang ritual
Kelompok Upaweda
Itihasa, Isinya tentang ceritera-
ceritera kepahlawanan (epos) terdiri dari Mahabarata dan Ramayana
Purana, Isinya tentang himpunan
ceritera- ceritera (mirip sejarah) tentang peristiwa- peristiwa tertentu dan
tentang tradisi.
Arthasastra, Isinya tentang
pengetahuan tentang pemerintahan.
Ayurweda, Isinya tentang ilmu obat-
obatan.
Gandarwa Weda, Isinya tentang ilmu
tentang seni
Sarasamuçcaya dan Slokantara ,
Isinya tentang etika dan tata susila.
Resi
/ Maha Resi
Resi adalah orang yang atas usahanya
melakukan tapa brata yoga samadhi, memiliki kesucian, terpilih oleh Tuhan,
dapat menghubungkan diri dengan Tuhan, sehingga dengan kuasa- Nya dapat melihat
hal yang sudah lampau, sekarang, dan yang akan datang, serta dapat menerima
wahyu (Sruti). Istilah Resi sebenarnya tidak sama artinya dengan Pendeta, namun
kadang- kadang diartikan sama, seperti terdapat di beberapa daerah. Untuk
membedakan pengertian Resi sebagai Pendeta dan Resi sebagai Nabi, maka
dipakailah istilah Maha Resi untuk menyatakan Resi sebagai Nabi. Diantaranya:
Swayambhu, Bharadwaja, Wrhaspati,
Krtyaya, Sandhyaya, Agastya, Wasistha, Tridhatu, Gotama, Wajrasrawa, Grtsamada,
Kanwa, Trinawindhu, Aryadatta, Dharma, Wiswamitra, Narayana, Usana, Somayan,
Parasara, Warmadewa, Prajapati, Tryaguna, Rutsa, Byasa, Atri, Hiranyagarbha,
Dhananjaya dan Sakri
Maha Resi Byasa beserta murid-
muridnya terkenal karena karyanya membukukan (kodifikasi) kitab- kitab Weda,
sehingga terhimpunlah kitab Catur Weda.
Avatara
Awatara adalah perwujudan Sang Hyang
Widhi turun ke dunia untuk karya penyelamatan terutama pada saat dharma
mengalami tantangan dan saat- saat adharma mulai merajalela. Bedanya dengan
Maha Resi ialah bahwa Awatara itu adalah perwujudan Hyang Widhi yang
turun ke dunia, sedangkan Maha Resi
adalah manusia terpilih karena dapat meningkatkan jiwanya ke kesempurnaan
sehingga dapat menerima wahyu. Dalam Wisnu Purana dikenal sepuluh perwujudan
Sang Hyang Widhi Wasa dalam penyelamatan dunia ialah:
Matsya Awatara, Ikan yang maha besar
Kurma Awatara, Kura-kura (penyu)
raksasa yang diceritakan menopang semesta
Waraha Awatara, Badak Agung
Narasingha Awatara, manusia berkepala
Singa, membunuh Raja Hirania Kasipu sebagai tokoh Adharma saat itu.
Wamana Awatara, Orang Kerdil yang
membunuh Raja Bali sebagai tokoh Adharma.
Rama Parasu Awatara, Pandita yang
selalu membawa kampak, memberi kesadaran kepada para kesatria untuk
mengendalikan Dharma atau kepemimpinan dengan sebaik- baiknya.
Rama Awatara, putra Prabu Dasarata
guna membela dharma melawan adharma yang dipimpin oleh Rawana yang pasukannya
terbasmi.
Krisna Awatara, sebagai putra Prabu
Wasudewa dengan Dewi Dewaki menghancurkan Raja Kangsa dan Jarasanda golongan
adharma pada saat itu.
Budha Awatara, sebagai putra Prabu
Sudodana dengan Dewi Maya bertugas menyadarkan umat manusia, agar bebas dari
penderitaan melalui jalan tengah di antara delapan cakram (putaran hidup).
Kalki Awatara, penunggang kuda putih
dengan membawa pedang terhunus dan akan membasmi makhluk yang adharma. Awatara
ini adalah yang ke-10, Menurut keyakinan kita beliau akan datang nanti bila
adharma sudah betul- betul merajalela (pralaya
- kiamat).
TIGA
KERANGKA DASAR AGAMA HINDU
Ajaran Agama Hindu dapat dibagi
menjadi tiga bagian yang dikenal dengan "Tiga
Kerangka Dasar", di mana bagian yang satu dengan lainnya saling isi
mengisi dan merupakan satu kesatuan yang bulat untuk dihayati dan diamalkan
guna mencapai tujuan agama yang disebut Jagadhita dan Moksa.
Tiga
Kerangka Dasar tersebut adalah: Tatwa,
Susila, Upakara
TATWA
Sebenarnya agama Hindu mempunyai
kerangka dasar kebenaran yang sangat kokoh karena masuk akal dan konseptual.
Konsep pencarian kebenaran yang hakiki di dalam Hindu diuraikan dalam ajaran
filsafat yang disebut Tattwa. Tattwa dalam agama Hindu dapat diserap sepenuhnya
oleh pikiran manusia melalui beberapa cara dan pendekatan yang disebut Pramana.
TRI
PRAMANA
Ada 3 (tiga) cara penyerapan pokok
yang disebut Tri Pramana.
Tri Pramana, "Tri" artinya
tiga, "Pramana" artinya jalan, cara, atau ukuran. Jadi Tri Pramana
adalah tiga jalan/ cara untuk mengetahui hakekat kebenaran sesuatu, baik nyata
maupun abstrak.
Dalam
Wrhaspati Tattwa sloka 26 disebutkan:
Pratyaksanumanasca krtan tad
wacanagamah pramananitriwidamproktam tat samyajnanam uttamam. Ikang sang
kahanan dening pramana telu, ngaranya, pratyaksanumanagama.
Pratyaksa ngaranya katon kagamel.
Anumana ngaranya kadyangganing anon kukus ring kadohan, yata manganuhingganing
apuy, yeka Anumana ngaranya.
Agama ngaranya ikang aji inupapattyan
desang guru, yeka Agama ngaranya. Sang kinahanan dening pramana telu
Pratyaksanumanagama, yata sinagguh Samyajnana ngaranya.
Artinya:
Adapun orang yang dikatakan memiliki
tiga cara untuk mendapat pengetahuan yang disebut Pratyaksa, Anumana, dan
Agama.
Pratyaksa namanya (karena) terlihat
(dan) terpegang. Anumana sebutannya sebagai melihat asap di tempat jauh, untuk
membuktikan kepastian (adanya) api, itulah disebut Anumana.
Agama disebut pengetahuan yang
diberikan oleh para guru (sarjana), itulah dikatakan Agama. Orang yang memiliki
tiga cara untuk mendapat pengetahuan Pratyaksa, Anumana, dan Agama, dinamakan
Samyajnana (serba tahu).
Tri
Premana meliputi:
Agama
Pramana adalah
suatu ukuran atau cara yang dipakai untuk mengetahui dan meyakini sesuatu
dengan mempercayai ucapan- ucapan kitab suci, karena sering mendengar petuah-
petuah dan ceritera para guru, Resi atau orang- orang suci lainnya. Ceritera-
ceritera itu dipercayai dan diyakini karena kesucian batin dan keluhuran budi
dari para Maha Resi itu. Apa yang diucapkan atau diceriterakannya menjadi
pengetahuan bagi pendengarnya. Misalnya: Guru ilmu pengetahuan alam berceritera
bahwa di angkasa luar banyak planet- planet, sebagaimana juga bumi berbentuk
bulat dan berputar. Setiap murid percaya kepada apa yang diceriterakan gurunya,
oleh karena itu tentang planet dan bumi bulat serta berputar menjadi
pengetahuan yang diyakini kebenarannya, walaupun murid- murid tidak pernah
membuktikannya. Demikianlah umat Hindu meyakini Sang Hyang Widhi Wasa
berdasarkan kepercayaan kepada ajaran Weda, melalui penjelasan- penjelasan dari
para Maha Resi atau guru- guru agama, karena sebagai kitab suci agama Hindu
memang mengajarkan tentang Tuhan itu demikian.
Anumana
Pramana adalah cara
atau ukuran untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan menggunakan
perhitungan logis berdasarkan tanda- tanda atau gejala- gejala yang dapat
diamati. Dari tanda- tanda atau gejala- gejala itu ditarik suatu kesimpulan
tentang obyek yang diamati tadi. Cara menarik kesimpulan adalah dengan dalil
sebagai berikut: YATRA YATRA DHUMAH, TATRA TATRA WAHNIH artinya Di mana ada
asap di sana pasti ada api. Contoh: Seorang dokter dalam merawat pasiennya
selalu mulai dengan menanyakan keluhan- keluhan yang dirasakan si pasien
sebagai gejala- gejala dari penyakit yang diidapnya. Dengan menganalisa
keluhan- keluhan tadi dokter dapat menyimpulkan penyakit pasiennya, sehingga mudah
melakukan pengobatan. Demikian pula jika memperhatikan
keadaan dunia ini, maka banyak sekali
ada gejala- gejala alam yang teratur. Hal itu menurut logika kita hanya mungkin
dapat terjadi apabila ada yang mengaturnya.
Pratyaksa
Pramana adalah cara
untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan cara mengamati langsung terhadap
sesuatu obyek, sehingga tidak ada yang perlu diragukan tentang sesuatu itu
selain hanya harus meyakini. Misalnya menyaksikan atau melihat dengan mata
kepala sendiri, kita jadi tahu dan yakin terhadap suatu benda atau kejadian
yang kita amati. Untuk dapat mengetahui serta merasakan adanya Sang Hyang Widhi
Wasa dengan pengamatan langsung haruslah didasarkan atas kesucian batin yang
tinggi dan kepekaan intuisi yang mekar dengan pelaksanaan yoga samadhi yang
sempurna.
Tri Pramana ini, menyebabkan akal budi
dan pengertian manusia dapat menerima kebenaran hakiki dalam tattwa, sehingga
berkembang menjadi keyakinan dan kepercayaan. Kepercayaan dan keyakinan dalam
Hindu disebut dengan sradha. Dalam Hindu, sradha disarikan menjadi 5 (lima)
esensi, disebut Panca Sradha.
PANCA
SRADHA
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan
dan kepercayaan yang disebut dengan Panca sradha. Pancasradha merupakan
keyakinan dasar umat Hindu.
Kelima
keyakinan tersebut, yakni:
Widhi Tattwa - percaya kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan segala aspeknya
Atma Tattwa - percaya dengan adanya
jiwa dalam setiap makhluk
Karmaphala Tattwa - percaya dengan adanya hukum
sebab-akibat dalam setiap perbuatan
Punarbhava Tattwa - percaya dengan
adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi)
Moksa Tattwa - percaya bahwa
kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia
Berbekal Panca Sradha yang diserap
menggunakan Tri Pramana ini, perjalanan hidup seorang Hindu menuju ke satu
tujuan yang pasti. Ke arah kesempurnaan lahir dan batin yaitu Jagadhita dan
Moksa. Ada 4 (empat) jalan yang bisa ditempuh, jalan itu disebut Catur Marga.
CATUR
MARGA YOGA
Dalam usaha perjalanan manusia menuju
kepada Tuhan, ada empat jalan yang harus ditempuh yaitu Catur Marga. Catur
artinya empat dan Marga artinya jalan.
Jadi Catur Marga artinya: empat jalan
yang harus ditempuh dalam usaha manusia menuju kepada Tuhan Sang Maha Pencipta.
Empat
jalan itu disebut Catur Marga, yaitu :
Yoga
Marga / Raja Yoga :
menuju pada kebenaran dengan jalan disiplin tertentu dengan metode-metode Yoga.
Raja Yoga Marga ialah suatu jalan dan usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa
melalui pengabdian diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa yaitu mulai
berlangsung dan berakhir pada
konsentrasi. Dalam arti yang lebih luas yoga ini mengandung pengertian tentang
pengekangan diri. Dengan pengendalian diri yang ketat, tekun dalam yoga, maka
persatuan Atman dengan Brahman akan tercapai.
Jnana
Marga / Jnana Yoga :
menuju persatuan dengan Tuhan dengan cara terus menerus mempelajarinya. Jnana
Marga ialah suatu jalan dan usaha untuk mencapai jagadhita dan Moksa dengan
mempergunakan kebijaksanaan filsafat (Jnana). Di dalam usaha untuk mencapai
kesempurnaan dengan kebijaksanaan itu, para arif bijaksana (Jnanin)
melaksanakan dengan keinsyafan bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta
yang bersumber pada suatu sumber alam, yang di dalam kitab suci Weda disebut
Brahman atau Purusa. Di dalam Upanishad dijelaskan bahwa Brahman atau Purusa
adalah sebagai sumber unsur- unsur rohani maupun jasmani semua makhluk dan
sumber segala benda yang terdapat di alam ini. Brahman sebagai sumber segala-
galanya mempunyai kekuatan yang dapat dikatakan hukum kodrat, atau sifatnya
yang menyebabkan Brahman berubah menjadi serba segala, rohaniah maupun
jasmaniah (sekala- niskala). Menginsyafi bahwa segala yang ada, rohani maupun
jasmani, benda yang berwujud (Sthula) maupun abstrak (suksma) bersumber pada
Brahman, maka para bijaksana (Jnanin) memandang bahwa semua benda jasmaniah
(jasad) dan wujud rohani (alam pikiran dan sebagainya) yang timbul dari Brahman
adalah benda dan wujud yang bersifat sementara (relatif). Hanya sumbernya yaitu
Brahman (Siwa) Yang Maha Agung yang sungguh- sungguh ada dan mutlak (absolut).
Dengan kebijaksanaan (Jnana) mereka dapat mencapai dharma yang memberikan
kebahagiaan lahir batin dalam hidupnya sekarang, di akhirat (Swarga) dan dalam
penjelmaan yang akan datang (Swarga Cyuta). Andaikata rahmat melimpah akhirnya
mereka dapat menginjak alam Moksa yaitu kebahagiaan yang kekal, yang
menyebabkan roh (Atma) bebas dari penjelmaan.
Bhakti Marga / Bhakti Yoga :
menyerahkan diri dengan tulus kepada Tuhan sebagai seorang poenyembah yang
penuh kecintaan. Bhakti Marga adalah usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa
dengan jalan sujud bakti kepada Tuhan. Dengan sujud dan cinta kepada Tuhan
Pelindung dan Pemelihara semua makhluk, maka Tuhan akan menuntun seorang
Bhakta, yakni orang yang cinta, bakti dan sujud kepada- Nya untuk mencapai
kesempurnaan. Dengan menambah dan berdoa mohon perlindungan dan ampun atas
dosa- dosanya yang pernah dilaksanakan serta mengucap syukur atas
perlindungannya, kian hari cinta baktinya kepada Tuhan makin mendalam hingga
Tuhan menampakkan diri (manifest) di hadapan Bhakta itu. Tuhan memelihara dan
melindungi orang yang beriman itu, supaya hidupnya tetap tenang dan tenteram.
Jalan yang utama untuk memupuk perasaan bakti ialah rajin menyembah Tuhan
dengan hati yang tulus ikhlas, seperti melaksanakan Tri Sandhya yaitu
sembahyang tiga kali dalam sehari, pagi, siang, dan sore hari dan bersembahyang
hari suci lainnya.
Karma
Marga / Karma Yoga :
menuju pembebasan dengan jalan bekerja tanpa mengharapkan hasil. Karma Marga
berarti jalan atau usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan melakukan
kebajikan, tiada terikat oleh nafsu hendak mendapat hasilnya berupa kemasyhuran,
kewibawaan, keuntungan, dan sebagainya, melainkan melakukan kewajiban demi
untuk mengabdi, berbuat amal kebajikan untuk kesejahteraan umat manusia dan
sesama makhluk. Selain itu Karma Marga berhampiran inti ajarannya dengan Bhakti
Marga, yaitu mengarahkan segala usaha, pengabdian kebijaksanaan, amal dan
pengorbanan itu bukan dari dirinya sendiri melainkan dari Tuhan.
Demikianlah tattwa Hindu Dharma. Tidak
terlalu rumit, namun penuh kepastian. Istilah- istilah yang disebutkan di atas
janganlah dianggap sebagai dogma, karena dalam Hindu tidak ada dogma. Yang ada
adalah kata- bantu yang telah disarikan dari sastra dan veda, oleh para
pendahulu kita, agar lebih banyak lagi umat yang mendapatkan pencerahan, dalam
pencarian kebenaran yang hakiki.
SUSILA
Susila merupakan kerangka dasar Agama
Hindu yang kedua setelah filsafat (Tattwa). Susila memegang peranan penting
bagi tata kehidupan manusia sehari- hari. Realitas hidup bagi seseorang dalam
berkomunikasi dengan lingkungannya akan menentukan sampai di mana kadar budi
pekerti yang bersangkutan. la akan memperoleh simpati dari orang lain manakala
dalam pola hidupnya selalu mencerminkan ketegasan sikap yang diwarnai oleh ulah
sikap simpatik yang memegang teguh sendi- sendi kesusilaan.
Di dalam filsafat (Tattwa) diuraikan bahwa agama Hindu membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup seutuhnya, oleh sebab itu ajaran sucinya cenderung kepada pendidikan sila dan budi pekerti yang luhur, membina umatnya menjadi manusia susila demi tercapainya kebahagiaan lahir dan batin.
Kata Susila terdiri dari dua suku kata: "Su" dan "Sila". "Su" berarti baik, indah, harmonis. "Sila" berarti perilaku, tata laku. Jadi Susila adalah tingkah laku manusia yang baik terpancar sebagai cermin obyektif kalbunya dalam mengadakan hubungan dengan lingkungannya.
Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang.
Pola hubungan tersebut adalah berprinsip pada ajaran Tat Twam Asi (Ia adalah engkau) mengandung makna bahwa hidup segala makhluk sama, menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Jiwa sosial demikian diresapi oleh sinar tuntunan kesucian Tuhan dan sama sekali bukan atas dasar pamrih kebendaan. Dalam hubungan ajaran susila beberapa aspek ajaran sebagai upaya penerapannya sehari- hari diuraikan lagi secara lebih terperinci.
TRI
KAYA PARISUDHA
Untuk bisa menjalankan dharma
diperlukan prilaku dasar yang disebut: Tri Kaya Parisuda artinya tiga
gerak perilaku manusia yang harus disucikan. Tri Kaya Parisudha adalah tiga
jenis perbuatan yang merupakan landasan ajaran Etika Agama Hindu yang
dipedomani oleh setiap individu guna mencapai kesempurnaan dan kesucian
hidupnya, meliputi:
Berpikir yang benar (Manacika) - Satya
Hrdaya - satunya pikiran
Berkata yang benar (Wacika) - Satya
Wacana - satunya tutur
Berbuat yang benar (Kayika) - Satya
Laksana - satunya laku
Dari tiap arti kata di dalamnya, Tri
berarti tiga; Kaya bararti Karya atau perbuatan atau kerja atau prilaku;
sedangkan Parisudha berarti "upaya penyucian".Jadi
"Trikaya-Parisudha berarti "upaya pembersihan/penyucian atas tiga
perbuatan atau prilaku kita".
Tri Kaya Parisudha yang menjadi
konsentrasi pembahasan kali ini adalah merupakan salah satu aplikasi dan
perbuatan baik (subha karma). Secara hirarki bermula dan pikiran yang baik dan
benarlah akan mengalir ucapan dan perbuatan yang baik dan benar pula. Jadi
kuncinya adalah pada pikiran, yang dalam pepatah sama dengan “dan telaga yang
jernihlah mengalir air yang jernih pula”. Kalau pikirannya kacau, apalagi
memikirkan yang macam-macam dan bukan-bukan niscaya perkataan dan
perbuatannyapun akan amburadul yang bermuara pada kehancuran dan penderitaan.
CATUR
PARAMITA
Pada hakekatnya hanya dari adanya
pikiran yang benar akan menimbulkan perkataan yang benar sehingga mewujudkan
perbuatan yang benar pula. Dengan ungkapan lain adalah satunya pikiran,
perkataan, dan perbuatan dalam Catur Paramita, diantaranya:
Maitri yaitu sifat suka menolong
orang lain yang dalam kesusahan dengan ikhlas
Karuna yaitu sifat kasih sayang
dan cinta kepada sesama tanpa meminta balasan
Mudita yaitu sifat simpatik dan
ramah tamah menghormati oang lain dengan tulus
Upeksa yaitu sifat mawas diri,
tepa sarira, bisa menempatkan diri, rendah hati
PANCA
YAMA BRATA
adalah lima jenis pengekangan diri
berdasarkan atas upaya menjauhi larangan agama sebagai norma kehidupan sebagai
berikut:
Ahimsa yaitu Kasih kepada makhluk
lain, tidak membunuh atau menganiaya
Brahmacari yaitu Berguru dengan
sungguh- sungguh, tidak melakukan hubungan kelamin (sanggama) selama menuntut
ilmu.
Satya yaitu Setia, pantang ingkar
kepada janji
Awyawaharika yaitu Cinta
kedamaian, tidak suka bertengkar dan mengumbar bicara yang tidak bermanfaat
Astenya yaitu Jujur, pantang
melakukan pencurian
PANCA
NIYAMA BRATA
adalah lima jenis pengekangan diri
berdasarkan atau tunduk (mengikuti) peraturan Dharma yang telah ditentukan,
sebagai berikut:
Akrodha yaitu Tidak dikuasai oleh
nafsu kemarahan.
Guru Susrusa yaitu Hormat dan
taat kepada guru serta patuh pada ajaran- ajarannya.
Sauca yaitu Senantiasa menyucikan
diri lahir batin.
Aharalagawa yaitu Pengaturan
makan (makanan bergizi) dan tidak hidup berfoya- foya/ boros.
Apramada yaitu Tidak
menyombongkan diri dan takabur.
TRI
MALA
merupakan tiga jenis kekotoran dan
kebatilan jiwa manusia akibat pengaruh negatif dan nafsu yang sering tidak
dapat terkendalikan dan sangat bertentangan dengan etika kesusilaan. Trimala
patut diwaspadai dan diredam, karena ia akan menghancurkan hidup, meliputi:
Mithya hrdya yaitu berperasaan
dan berpikiran buruk
Mithya wacana yaitu berkata
sombong, angkuh, tidak menepati janji
Mithya laksana yaitu berbuat yang
curang / culas / licik (merugikan orang lain)
Apabila Trimala telah menguasai
seluruh hidup manusia timbullah kegelapan (Awidya) mengakibatkan ia tidak mampu
lagi melakukan pertimbangan budi, kegelapan yang mempengaruhi pandangan
hidupnya.
SAD
RIPU
adalah enam musuh di dalam diri
manusia yang selalu menggoda, yang mengakibatkan ketidakstabilan emosi. Apabila
tidak mampu menguasainya akan membawa bencana dan kehancuran total kehidupan
manusia. Karena itu Sad Ripu patut dikendalikan dengan budi susila. Sad Ripu
terdiri dari:
Kama yaitu hawa nafsu yang tidak
terkendalikan
Lobha yaitu kelobaan (ketamakan),
ingin selalu mendapatkan yang lebih.
Krodha yaitu kemarahan yang
melampaui batas (tidak terkendalikan).
Mada yaitu kemabukan yang membawa
kegelapan pikiran.
Moha yaitu kebingungan/ kurang
mampu berkonsentrasi sehingga akibatnya individu tidak dapat menyelesaikan
tugas dengan sempurna.
Matsarya yaitu iri hati/ dengki
yang menyebabkan permusuhan.
CATUR
ASRAMA
Hubungan tata kemasyarakatan Hindu
dibagi menjadi empat tingkat kehidupan yang dikenal dengan Catur Asrama.
Catur Asrama adalah empat lapangan atau tingkatan hidup manusia atas dasar
keharmonisan hidup. Tiap- tiap tingkat kehidupan manusia diwarnai oleh adanya
ciri- ciri tugas kewajiban yang
berbeda antara satu masa (asrama) dengan masa lainnya, tetapi merupakan
kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Sebagai contoh adanya perbedaan sifat tugas
dan kewajiban seorang bapak dengan ibu dengan anak- anaknya.
Menurut
agama Hindu pembagian tingkat kehidupan manusia sesuai dengan sistem Catur
Asrama, ialah sebagai berikut:
Brahmacari
Asrama Adalah
tingkat masa menuntut ilmu/masa mencari ilmu. Masa Brahmacari diawali dengan
upacara Upanayana dan diakhiri dengan pengakuan dan pemberian Samawartana
(Ijazah).
Grhasta
Asrama Adalah
tingkat kehidupan berumahtangga. Masa Grehasta Asrama ini adalah merupakan
tingkatan kedua setelah Brahmacari Asrama. Dalam memasuki masa Grehasta diawali
dengan suatu upacara yang disebut Wiwaha Samskara (Perkawinan) yang bermakna
sebagai pengesahan secara agama dalam rangka kehidupan berumahtangga
(melanjutkan keturunan, melaksanakan yadnya dan kehidupan sosial lainnya).
Wanaprastha
Asrama Merupakan
tingkat kehidupan ketiga. Dimana berkewajiban untuk menjauhkan diri dari nafsu
keduniawian. Pada masa ini hidupnya diabdikan kepada pengamalan ajaran Dharma.
Dalam masa ini kewajiban kepada keluarga sudah berkurang, melainkan ia mencari
dan mendalami arti hidup yang sebenarnya, aspirasi untuk memperoleh
kelepasan/moksa dipraktekkannya dalam kehidupan sehari- hari.
Sanyasin
Asrama
(bhiksuka) Merupakan tingkat terakhir dari catur asrama, di mana pengaruh
dunia sama sekali lepas. Mengabdikan diri pada nilai-nilai dari keutamaan
Dharma dan hakekat hidup yang benar. Pada tingkatan ini, ini banyak dilakukan
kunjungan (Dharma yatra, Tirtha yatra) ke tempat suci, di mana seluruh sisa
hidupnya hanya diserahkan kepada Sang Pencipta untuk mencapai Moksa
CATUR
PURUSA ARTHA
Agama Hindu memberikan tempat yang
utama terhadap ajaran tentang dasar dan tujuan hidup manusia. Dalam ajaran
Agama Hindu ada suatu sloka yang berbunyi: "Moksartham Jagadhita ya ca
iti dharmah", yang berarti bahwa tujuan beragama adalah untuk mencapai
kesejahteraan jasmani dan ketentraman batin (kedamaian abadi). Ajaran tersebut
selanjutnya dijabarkan dalam konsepsi Catur Purusa Artha atau Catur
Warga yang berarti empat dasar dan tujuan hidup manusia, yang terdiri dari:
Dharma Merupakan kebenaran absolut yang
mengarahkan manusia untuk berbudi pekerti luhur sesuai dengan ajaran agama yang
menjadi dasar hidup. Dharma itulah yang mengatur dan menjamin kebenaran hidup
manusia. Keutamaan dharma sesungguhnya merupakan sumber datangnya kebahagiaan,
memberikan keteguhan budi, dan menjadi dasar dan jiwa dari segala usaha tingkah
laku manusia. kebenaran dan kebajikan, yang menuntun umat manusia untuk
mencapai kebahagiaan dan keselamatan.
Artha adalah benda-benda atau materi
yang dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan hidup manusia. Adalah kekayaan
dalam bentuk materi/ benda- benda duniawi yang merupakan penunjang hidup
manusia. Pengadaan dan pemilikan harta benda sangat mutlak adanya, tetapi yang
perlu diingat agar kita jangan sampai diperbudak oleh nafsu keserakahan yang berakibat
mengaburkan wiweka (pertimbangan rasional) tidak mampu membedakan salah ataupun
benar. Nafsu keserakahan materi melumpuhkan sendi- sendi kehidupan beragama,
menghilangkan kewibawaan. Bahwa artha merupakan unsur sosial ekonomi bersifat
tidak kekal berfungsi selaku penunjang hidup dan bukan tujuan hidup. Artha
perlu diamalkan (dana punia) bagi kepentingan kemanusiaan (fakir miskin, cacat,
yatim piatu, dan lain- lain)
Kama artinya hawa nafsu, keinginan,
juga berarti kesenangan. merupakan keinginan untuk memperoleh kenikmatan
(wisaya). Kama berfungsi sebagai penunjang hidup yang bersifat tidak kekal.
Manusia dalam hidup memiliki kecenderungan untuk memuaskan nafsu, tetapi
sebagai makhluk berbudi ia mampu menilai perilaku mana yang baik dan benar untuk
diterapkan. Dengan ungkapan lain bahwa perilaku yang baik dimaksudkan adalah
selarasnya kebutuhan manusia dengan norma kebenaran yang berlaku.
Moksa berarti kebahagiaan yang
tertinggi, pelepasan kebebasan atau kemerdekaan (kadyatmikan atau Nirwana) manunggalnya
hidup dengan Pencipta (Sang Hyang Widhi Wasa) sebagai tujuan utama, tertinggi,
dan terakhir, bebasnya Atman dari pengaruh maya serta ikatan subha asubha karma
(suka tan pawali duka).
CATUR
WARNA
Kata Catur Warna berasal
dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata ''Catur" berarti empat dan
kata "warna" yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya
memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam
kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang,
serta kwalitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan
bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya
dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan
istilah Catur Warna itu ialah:
Warna
Brahmana adalah
golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan
pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.
Warna
Ksatrya adalah
golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan
pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan
pertahanan keamanan negara.
Warna
Wesya adalah
golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan
pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian,
dan lain- lain).
Warna
Sudra adalah
golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan
pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan
Dalam perjalanan kehidupan di
masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Catur Warna cenderung membaur
mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut Catur Wangsa atau Turunan
darah (Wangsa di Bali). Pada hal Catur Warna menunjukkan pengertian golongan
fungsional, sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan darah.
CATUR
GURU
Untuk mewujudkan keserasian,
keselarasan dan keseimbangan dalam masyarakat Hindu tidak terlepas dari
disiplin dalam setiap tingkah laku kita sehari- hari lebih- lebih terhadap
catur kang Sinangguh Guru. Kata Guru dalam bahasa Sanskerta berarti berat.
Dalam Agama Hindu ada 4 yang dianggap
guru adalah:
Guru
Swadyaya. Tuhan
yang Maha Esa dalam fungsinya sebagai guru sejati maha guru alam semesta atau
Sang Hyang Paramesti guru. Agama dan ilmu pengetahuan dengan segala bentuknya
adalah bersumber dari beliau. SARWAM IDAM KHALUBRAHMAN (segala yang ada tidak
lain dari Brahman). Demikian disebutkan dalam kitab Upanishad
Guru
Wisesa. Wisesa dalam
bahasa Sanskerta berarti purusa/ Sangkapurusan yaitu pihak penguasa yang
dimaksud adalah Pemerintah. Pemerintah adalah guru dan masyarakat umum yang
berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan Bangsa dan memberikan kesejahteraan
material dan spiritual.
Guru
Pengajian / Guru Parampara.
Guru di sekolah yang telah benar- benar sepenuh hati dan ikhlas mengabdikan
diri untuk mendidik serta mencerdaskan kehidupan Bangsa.
Guru
Rupaka Orang yang
melahirkan (orang tua), tanpa orang tua kita tak akan ada oleh karena itu
betapa besarnya jasa- jasa orang tua dalam membimbing putra- putranya untuk
melahirkan putra yang baik (suputra).
UPACARA
– YADNYA
Yadnya adalah suatu karya suci yang
dilaksanakan dengan ikhlas karena getaran jiwa/ rohani dalam kehidupan ini
berdasarkan dharma, sesuai ajaran sastra suci Hindu yang ada (Weda). Yadnya
dapat pula diartikan memuja, menghormati, berkorban, mengabdi, berbuat baik
(kebajikan), pemberian, dan penyerahan dengan penuh kerelaan (tulus ikhlas)
berupa apa yang dimiliki demi kesejahteraan serta kesempurnaan hidup bersama
dan kemahamuliaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Di dalamnya terkandung nilai- nilai:
Rasa tulus ikhlas dan kesucian.
Rasa bakti dan memuja (menghormati)
Sang Hyang Widhi Wasa, Dewa, Bhatara, Leluhur, Negara dan Bangsa, dan
kemanusiaan.
Di dalam pelaksanaannya disesuaikan
dengan kemampuan masing- masing menurut tempat (desa), waktu (kala), dan
keadaan (patra).
Suatu ajaran dan Catur Weda yang
merupakan sumber ilmu pengetahuan suci dan kebenaran yang abadi.
Konsep
keseimbangan
TRI
HITA KARANA
Istilah Tri Hita Karana pertama kali
muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan Konferensi
Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra
Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan
dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju
masyarakat sejahtera, adil dan makmur
berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini berkembang, meluas,
dan memasyarakat.
Secara leksikal Tri Hita Karana
berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana =
penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab
kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara:
Manusia dengan Tuhannya (Parhyangan)
Manusia dengan alam lingkungannya
(Palemahan)
Manusia dengan sesamanya (Pawongan)
Unsur- unsur Tri Hita Karana ini
meliputi:
Sanghyang Jagatkarana. (tuhan)
Bhuana (alam dan lingkungan)
Manusia
Unsur- unsur Tri Hita Karana itu
terdapat dalam kitab suci Bagawad Gita (III.10), berbunyi sebagai berikut:
Sahayajnah prajah sristwa pura waca
prajapatih anena prasawisya dhiwan esa wo'stiwistah kamadhuk
Artinya :
Pada jaman dahulu Prajapati
menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: dengan ini engkau akan
berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.
Dalam sloka Bhagavad-Gita tersebut ada
nampak tiga unsur yang saling beryadnya untuk mendapatkan yaitu terdiri dari:
Prajapati = Tuhan Yang Maha Esa
Praja = Manusia
Penerapan
Tri Hita Karana.
Penerapan Tri Hita Karana dalam
kehidupan umat Hindu sebagai berikut
Hubungan antara manusia dengan
Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa yadnya.
Hubungan manusia dengan alam
lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta yadnya.
Hubungan antara manusia dengan
sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi, Manusia Yadnya.
Penerapan Tri Hita Karana dalam
kehidupan umat Hindu di Bali dapat dijumpai dalam perwujudan:
Parhyangan. yaitu: Parahyangan untuk di tingkat
daerah berupa Kahyangan Jagat, di tingkat desa adat berupa Kahyangan desa atau
Kahyangan Tiga, di tingkat keluarga berupa pemerajan atau sanggah.
Pelemahan yaitu Pelemahan di tingkat daerah
meliputi wilayah Propinsi Bali, Di tingkat desa adat meliputi
"asengken" bale agung, di tingkat keluarga meliputi pekarangan perumahan.
Pawongan yaitu Pawongan untuk di tingkat
daerah meliputi umat Hindu di Bali, untuk di desa adat meliputi krama desa
adat, Tingkat keluarga meliputi seluruh anggota keluarga
Dengan menerapkan Tri Hita Karana
secara mantap, kreatif dan dinamis akan terwujudlah kehidupan harmonis yang
meliputi pembangunan manusia seutuhnya yang astiti bakti terhadap Sanghyang
Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada kelestarian lingkungan serta
rukun dan damai dengan sesamanya
Konsep
toleransi dan ketuhanan
Agama Hindu memiliki ciri khas sebagai
salah satu agama yang paling toleran, yang mana di dalam kitab Weda dalam salah
satu baitnya memuat kalimat berikut:
Tat Twam Asi – (Candayoga
Upanisad)
ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan
semua makhluk adalah sama
Ekam eva advityam Brahma -
(Ch.U.IV.2.1)
Tuhan hanya satu tidak ada yang kedua.
Eko Narayanad na dvityo Sti
kaccit - (Weda Sanggraha)
Hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada
duanya.
Bhineka Tungal Ika, tan hana Darma
mangrwa - (Lontar Sutasoma)
Berbeda-beda tetapi satu tidak ada
Dharma yang dua.
Ekam Sat Vipraaha Bahudhaa
Vadanti —Rg Weda (Buku I, Gita CLXIV, Bait 46)
Hanya ada satu kebenaran tetapi para
orang pandai menyebut-Nya dengan banyak nama.
Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva
bhajāmy aham, mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah - (Bhagavad
Gītā, 4.11)
Jalan mana pun yang ditempuh seseorang
kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku, dengan
berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)
Yo yo yām yām tanum bhaktah
śraddhayārcitum icchati, tasya tasyācalām śraddhām tām eva vidadhāmy
aham - (Bhagavad Gītā, 7.21)
Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk
seseorang, Aku perlakukan mereka sama dan Ku-berikan berkah yang setimpal
supaya ia lebih mantap
ye ‘py anya-devatā-bhaktā yajante
śraddhayānvitāḥ, te ‘pi mām eva kaunteya yajanty avidhi-pūrvakam -
(Bhagavad Gītā, IX.23)
Orang-orang yang menyembah Dewa-Dewa
dengan penuh keyakinannya, sesungguhnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka
melakukannya, dengan cara yang keliru, wahai putera Kunti (Arjuna)
Karena Tuhan tidak terjangkau oleh
pikiran, maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya.
Tuhan yang tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan
fungsinya. Ia dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan
Shiwa sebagai pemralina. Banyak lagi panggilannya yang lain. Ia Maha Tahu,
berada di mana-mana. Karena itu tak ada apapun yang dapat kita sembunyikan
dihadapan-Nya. Orang-orang menyembah-Nya dengan bermacam-macam cara pada tempat
yang berbeda-beda. Kepada-Nyalah orang menyerahkan diri, mohon perlindungan dan
petunjuk-Nya agar dia menemukan jalan terang dalam mengarungi hidup ini.